INTEGRASI PENGENDALIAN GULMA
DAN TEKNOLOGI TANPA OLAH TANAH PADA
USAHA TANI PADI SAWAH MENGHADAPI
PERUBAHAN IKLIM
Oleh :
ANANG
BUDI PRASETYO,SP
PPL BPP
KECAMATAN GADING
KABUPATEN
PROBOLINGGO
ABSTRAK
Pengolahan tanah merupakan salah satu cara
pengendalian gulma. Pada era prarevolusi hijau, penyiapan lahan padi sawah
diawali dengan pengolahan tanah sederhana, lalu gulma ditebas dan dibakar. Pada
era revolusi hijau, olah tanah sederhana ditinggalkan dan petani beralih ke
olah tanah sempurna (OTS) sebagai teknologi anjuran dalam program intensifikasi
padi sawah. Namun, OTS telah menyebabkan tanah menjadi sakit sehingga muncul
inovasi teknologi tanpa olah tanah (TOT). Hasil penelitian dan pengkajian
membuktikan bahwa teknologi TOT memiliki beberapa keunggulan, antara lain: (1) mengefisienkan
pemanfaatan sumber daya dan biaya (menghemat air, menekan pertumbuhan gulma, menghemat
tenaga kerja), (2) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (menekan emisi gas
rumah kaca seperti metana, mengurangi kerusakan fisik perakaran saat musim
kemarau, dan memperpendek jarak antarmusim tanam sehingga indeks pertanaman
(IP) dapat ditingkatkan menjadi IP300 atau IP400), dan (3) meningkatkan
produktivitas tanah (pertumbuhan akar terkonsentrasi pada zona oksidasi, proses
pelapukan menyumbang C-organik tanah, mengefisienkan absorpsi hara N, P, dan K
yang pada akhirnya meningkatkan hasil). Namun, TOT kurang berkembang di tingkat
petani karena petani telah terbiasa dengan OTS, lahan usaha tani sempit,
inovasi belum menyentuh pengguna, dan intensifnya pelayanan jasa alat dan mesin
pertanian. Untuk mengembangkan penerapan teknologi TOT, perlu diintensifkan
diseminasi dan promosi serta mempertimbangkan TOT sebagai inovasi teknologi alternative
dalam program peningkatan produksi beras nasional melalui penerapan pengelolaan
tanaman terpadu.
Kata
kunci: Gulma, padi sawah, tanpa olah tanah, adaptif dan mitigatif,
iklim
I.
PENDAHULUAN
Gulma merupakan salah satu kelompok
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menjadi pesaing bagi tanaman padi dalam
memperoleh hara, air, sinar matahari, CO , dan lahan (Lamid 1996). Tanpa
pengendalian, gulma mampu menurunkan hasil padi
sawah 32-42%, bergantung pada varietas padi yang ditanam dan
agroekosistem (Bangun dan Syam 1989).
Teknologi pengolahan tanah mempunyai tujuan
ganda, baik dalam penyiapan lahan dan pengelolaan air maupun pengendalian gulma.
Pada era prarevolusi hijau, penyiapan lahan untuk budi daya padi sawah hanya
diawali dengan pengolahan tanah sederhana, bahkan kadang kala tanpa olah tanah,
hanya dengan menebas gulma dan kemudian membakarnya (Lamid 1993).
Pada era revolusi hijau yang diiringi oleh kemajuan peradaban
zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pengolahan tanah
secara sederhana ditinggalkan petani dan diganti dengan olah tanah sempurna
(OTS) menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan). OTS menjadi salah satu
komponen teknologi anjuran dalam program intensifikasi padi sawah (Bimas,
Inmas, Insus, dan Supra Insus) yang mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras
pada tahun 1984 (Fagi 1996).
Penerapan teknologi OTS awalnya berdampak
positif terhadap efisiensi usaha tani padi karena menghemat biaya dan tenaga
kerja untuk pengendalian gulma, memfasilitasi penerapan komponen teknologi
lain, dan meningkatkan produktivitas (Kasryno 1983; Ananto 1989). Namun, di
balik keberhasilan itu, revolusi hijau meninggalkan beberapa masalah, antara lain
tanah menjadi sakit (soil sickness) (Utomo 1995). Pelumpuran tanah
secara terus-menerus yang diikuti oleh pemupukan anorganik pada takaran tinggi
diduga menjadi salah satu penyebab perubahan fisiko kimia tanah pada zona
perakaran tanaman, yang berdampak terhadap penurunan produktivitas padi sawah.
Perubahan iklim berdampak pula terhadap perubahan
fisik tanah dan penurunan produktivitas tanaman yang pada gilirannya akan
menurunkan produksi (Las et al. 2008; Badan
Litbang Pertanian 2010). Padi sawah termasuk jenis tanaman pangan yang rentan
terhadap perubahan iklim dan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di
bidang pertanian (Las et al. 2008). Tanpa olah tanah (TOT) merupakan salah
satu teknologi yang prospektif dikembangkan untuk mengatasi beberapa kelemahan OTS
dan menurunkan GRK dalam pascarevolusi hijau (Badan Litbang Pertanian 2010).
TOT dikenal sebagai teknologi olah tanah
konservasi (OTK) (conservation tillage) dan makin populer di
negaranegara maju, terutama Amerika Serikat, karena memiliki beberapa
keuntungan, antara lain mencegah erosi, mempertahankan keanekaragaman biologi,
menekan populasi beberapa jenis gulma dan hama invertebrata, memperbaiki
efisiensi penggunaan pupuk, dan meningkatkan intensitas Tanam dan pendapatan (Sinukaban 1981; Allen 1985;
Hasny et al. 1989; Effendi dan Utomo 1993; Lamid dan Hermawan 1996; Lamid 1998). Selain
itu, teknologi ini membuka peluang bagi penggunaan herbisida nonselektif
purnatumbuh yang bekerja secara sistemik atau secara kontak (Bangun 1995; Utomo
1995).
Makalah ini bertujuan untuk mengangkat kembali
teknologi tradisional yang sudah diperbaiki sebagai inovasi teknologi alternatif pada sosio-agroekosistem spesifik untuk
meningkatkan produksi padi guna
mewujudkan swasembada beras berkelanjutan.
II. DINAMIKA POPULASI DAN PENGENDALIAN GULMA
Gulma merupakan salah satu OPT yang mampu
beradaptasi, tumbuh, dan berkembang pada semua agroekosistem dan dalam kondisi
iklim yang telah berubah. Pada lahan budi daya padi sawah, dinamika populasi
gulma akan menentukan tindakan pengendalian yang tepat.
A.
Dinamika Populasi
Populasi gulma padi sawah dikelompokkan ke
dalam tiga golongan, yakni gulma berdaun sempit (semua jenis dari family Gramineae),
gulma berdaun lebar (jenis gulma berdaun lebar, batang berkayu, dan tulang daun
menyirip), dan teki (semua jenis dari famili Cyperaceae dan atau gulma bertulang
daun sejajar) (Mercado 1979;
Lamid 1996). Pertumbuhan populasi gulma pada
lahan sawah ditentukan oleh ketersediaan air sebagai syarat utama dalam proses
pelumpuran pada penyiapan lahan OTS. Di sisi lain, ketinggian air pada permukaan
lahan berfungsi mengendalikan beberapa jenis gulma (Mercado 1979).
Pada lahan sawah irigasi (air selalu tergenang),
gulma berdaun lebar lebih mendominasi populasi seperti Monochoria vaginais (Burm.
f.) Presl, Sphenoclea zeylanica Gaertn., Limnocharis flava (L.) Buch,
dan Marsilea crenata Presl. Kemudian secara berurut diikuti oleh teki (Cyperus
iria L., C. difformis L., Scirpus juncoides Roxb. dan Fimbristylis
sp.), serta gulma berdaun sempit (Paspalum distichum L., Echinochloa
crussgalli (L.) Beauv., Leersia hexandra L., Leptochloa chinensis
L. Nees, dan E. colona L (Bangun dan Syam 1989).
Pada lahan sawah tadah hujan, dinamika populasi
gulma menyesuaikan diri dengan kondisi kering dan basah (Bangun dan Syam 1989).
Dalam keadaan basah, lahan sawah didominasi oleh gulma berdaun lebar (Commelina
baghaliensia L. dan Jusseae linifolia vahl.), dan pada keadaan
kering didominasi oleh gulma berdaun sempit (Ischaemum timorense Kenth.,
E. colona dan Paspalum distichum L) dan golongan teki (C.
difformis, C. iria dan C. halpan L). Pada lahan sawah pasang
surut, gulma yang dominan adalah golongan teki (C. iria, F.
littoralis dan Eleocharis sp.), diikuti oleh gulma berdaun sempit (Brachiaria
paspaloides C.E. Hebb., P. distichum dan L.hexandra), sedangkan
gulma berdaun lebar jarang ditemui (Lamid dan Anhar 1979; Lamid et al. 1995,
1999b).
Pada dinamika populasi gulma, golongan gulma
yang dominan merupakan target utama untuk dikendalikan karena berpotensi sebagai
pesaing tanaman budi daya. Perlu diwaspadai bahwa gulma minor akan muncul
sebagai pesaing pengganti pada musim tanam berikutnya, oleh karena itu, keberagaman
tersebut menghendaki pendekatan pengendalian yang spesifik (Lamid 1996).
B.
Pengendalian
Pengendalian gulma bukan diarahkan untuk
pemberantasan total, tetapi mempertahankan populasi gulma di bawah ambang ekonomi.
Secara umum, pengendalian gulma pada
padi sawah dikelompokkan ke dalam dua metode, yakni nonkimia dan kimia atau
aplikasi herbisida (Bangun dan Syam 1989). Metode pengendalian nonkimia
meliputi cara manual, mekanis, biologi, ekologi, dan teknik budi daya (Mercado
1979). Namun, cara pengendalian yang umum dan populer di petani Indonesia saat
ini adalah cara manual, yakni penyiangan dengan tangan karena lebih mudah dan
murah, terutama pada lahan sawah yang relatif sempit (Lamid 1996). Selanjutnya,
berkembang pengendalian cara mekanis menggunakan alat sederhana, seperti pisau,
parang, sabit, landak atau alat penyiang berputar (rotary weeder) yang
harus didukung oleh barisan tanaman padi
sawah yang relatif lebih teratur atau lurus.
Pengaturan jarak tanam, pemilihan varietas,
dan pola tanam (padi-padipalawija) mampu mengubah populasi gulma atau menekan
pertumbuhan jenis gulma tertentu dari yang kuat bersaing menjadi lemah bersaing
(Mercado 1979). Pengaturan tata air dengan tinggi genangan sekitar 5 cm juga
mampu menekan munculnya jenis-jenis gulma tertentu, namun sulit dilakukan
karena terbatasnya air irigasi, kecuali pada musim hujan.
Bila cara tersebut kurang efektif menekan pertumbuhan
gulma, alternative terakhir adalah pengendalian dengan menggunakan herbisida selektif
pra dan purnatumbuh padi sawah dan atau gulma sasaran, baik pada budi daya
tanam pindah maupun tanam benih langsung (tabela). Aplikasi herbisida termasuk
cara pengendalian gulma yang efektif, mudah, dan murah dibandingkan dengan cara
manual (Bangun dan Syam 1989). Namun, penggunaan herbisida sejenis pada setiap
musim tanam dapat menimbulkan resistensi jenis gulma tertentu sehingga
menghendaki alterasi aplikasi bahan aktif yang berbeda (Lamid et al. 2001)
.
Masing-masing komponen teknologi pengendalian
gulma mempunyai kemangkusan tersendiri, sesuai gulma sasaran, namun belum satu
pun herbisida yang dapat bekerja secara holistik. Untuk itu, penggabungan cara
pengendalian gulma yang mampu bersinergi antara yang satu dengan lainnya, baik
fisik (jenis gulma dan tanaman budi daya) maupun ekonomi dan sosial, yang
disebut pengendalian gulma secara terpadu (PGT) perlu diwujudkan (Lamid 1996). Namun, PGT baru sebatas wacana karena
belum adanya perhatian pengambil kebijakan pertanian terhadap pengendalian
gulma.
III. PERSPEKTIF
TEKNOLOGI TANPA OLAH TANAH
Pengolahan tanah merupakan bagian dari budi daya yang
berpengaruh langsung terhadap fase pertumbuhan tanaman (vegetative dan
reproduktif), yang pada gilirannya memengaruhi hasil dan pendapatan petani. Selain
untuk menghemat tenaga dan air, beberapa kelemahan atau dampak negatif teknologi
OTS mendorong kembali penerapan teknologi TOT spesifik lokasi.
3.1.
Sistem Produksi Padi
Sawah Olah Tanah Sempurna dalam
OTS
telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap program intensifikasi padi
sawah. Swasembada beras yang diraih pada
tahun 1984 tentu tidak dapat dilepaskan dari penerapan teknologi OTS yang merupakan
tulang punggung pengadaan produksi padi nasional. Namun, keberhasilan program
intensifikasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem lahan sawah,
seperti degradasi kesuburan tanah, meningkatnya polusi perairan oleh limbah
pertanian (residu pestisida, nitrat dari pupuk nitrogen dan sedimentasi), serta
timbulnya biotipe baru hama dan prototipe baru penyakit (Hammond dan Stinner
1999).
Proses OTS pada lahan sawah yang meliputi penggenangan sawah
sampai jenuh bahkan kelebihan air agar tanah menjadi lunak, diikuti oleh
pembajakan
dua kali dan penggaruan untuk pelumpur an lahan,
memerlukan waktu relatif lama sebelum padi ditanam. Tujuan utama OTS adalah
mengendalikan gulma pada stadia awal pertumbuhan tanaman, memperbaiki aerasi
tanah, mencampur sisa gulma dan tanaman dengan tanah, membantu pembentukan tapak
bajak, menyeragamkan tingkat kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara,
terutama fosfor (P), dan memudahkan tanam (Taslim et al. 1989).
Pada budi daya padi sawah, masingmasing 30% dari total kebutuhan
air, total
Tenaga kerja, dan total waktu dihabiskan untuk penyiapan lahan
sehingga indeks pertanaman maksimum hanya 200-250/ tahun ( Ananto dan Fagi
1993). Pembajakan atau pelumpuran tanah dengan pengaliran air ke dalam dan ke
luar petakan sawah menyebabkan hanyutnya sedimen tanah, bahan organik, dan hara
tertentu ke saluran air irigasi. Pada lahan sulfat masam, unsur besi (Fe) dan
sulfur (S) terlarut secara berlebihan ke lapisan perakaran (oksidasi) sehingga meracuni
akar tanaman padi dan meningkatkan populasi gulma (Mercado 1979; Widjaja-Adhi 1990;
Ananto dan Fagi 1993)
Penerapan OTS
dengan menggunakan tenaga ternak dan cangkul memberikan pertumbuhan tanaman dan
hasil yang lebih baik, tetapi indeks pertanaman lebih rendah dibandingkan
dengan menggunakan mesin pengolah tanah (hand tractor) karena memerlukan
waktu yang lebih panjang (De Datta 1981). Dengan menggunakan bajak traktor, proses
tanam dapat dipercepat sehingga indeks pertanaman meningkat. Namun, hasil padi
lebih rendah karena adanya senyawa beracun (fumarat) yang dihasilkan oleh
proses pelapukan bahan organik (gulma dan singgang). Senyawa ini mengganggu
pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman.
3.2. Tanpa Olah Tanah
dan Populasi Gulma
Kesuksesan aplikasi teknologi TOT padi sawah umumnya dibatasi
oleh investasi gulma. Namun, gulma termasuk singgang padi
sebelumnya (ratoon) dapat dikendalikan dengan aplikasi herbisida
purnatumbuh. Khusus untuk gulma, beberapa laporan menyatakan bahwa aplikasi herbisida
glifosat dengan takaran anjuran efektif menekan pertumbuhan populasi gulma sebesar
70% sampai tanaman padi berumur 45 hari setelah tanam (HST) (Lamid et al.
2000; Lamid dan Wentrisno 2001). Hal ini mengindikasikan bahwa gulma pada padi
sawah TOT cukup dikendalikan satu kali selama pertumbuhan.
Aplikasi herbisida secara terus-menerus pada budi daya TOT
memerlukan dukungan informasi tentang perkembangan populasi gulma setelah
aplikasi. Hasil pengujian jangka panjang menunjukkan bahwa penerapan teknologi TOT
dengan aplikasi herbisida glifosat secara terus-menerus setiap
musim tanam (MT) menggeser populasi gulma dari target awal golongan teki (F.
littoralis) ke golongan berdaun sempit (relatif murni Paspalum vaginatum
L), mulai dari MT 3 sampai MT 17
(Lamid et al. 1999a, 2001).
Pergeseran populasi gulma tersebut diduga sebagai penyebab
munculnya resistensi melalui terdegradasinya bahan aktif herbisida oleh enzim
spesifik pada buku ruas stolon (Mercado 1979). Hal ini dibuktikan oleh model
aksi herbisida di mana pada awalnya seluruh daun mengalami keracunan berat sampai tanaman mati (kering). Namun, dari
masing-masing buku pada ruas stolon muncul
akar dan tunas yang berkembang lebih cepat dan subur bila menyentuh tanah.
3.3. Tanpa Olah Tanah dan Perubahan Iklim
Tanaman pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim, terutama
akibat kelebihan dan kekurangan air. Secara teknis, kerentanan tersebut
berhubungan erat dengan system penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam,
teknologi pengolahan tanah, air, tanaman, dan varietas (Las et al. 2008).
Ada tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global yang berdampak
terhadap sektor pertanian, yaitu: (1) perubahan pola curah hujan dan iklim
ekstrim; (2) peningkatan suhu udara; dan (3) peningkatan permukaan air laut
(Badan Litbang Pertanian 2010).
Pemanasan
global yang terjadi akhirakhir ini telah menyebabkan perubahan iklim yang
merupakan dampak dari akumulasi GRK di atmosfer, seperti CO , N
O, dan gas
metana yang diemisi oleh berbagai sumber akibat aktivitas manusia (Badan
Litbang Pertanian 2010). Di lingkup pertanian, selain lahan gambut, emisi metana
dari lahan sawah juga merupakan penyumbang terbesar GRK, sekitar 70% dari
kontribusi sektor pertanian di luar perubahan dan degradasi lahan. Pemupukan dan
sistem irigasi secara terusmenerus dalam penerapan OTS juga ditengarai turut
berperan dalam meningkatkan emisi metana dari lahan sawah. Dampak utama dari
perubahan iklim di samping penggundulan hutan adalah tidak menentu dan
tingginya dinamika debit air irigasi (De Datta 1981; Las et al. 2008).
Kendala ini secara langsung akan menurunkan produktivitas lahan dan tanaman padi sawah.
Selain untuk tujuan efisiensi air dan memperpendek masa olah
tanah, berbagai inovasi teknologi juga
diperlukan untuk upaya mitigasi dengan menurunkan laju emisi metana dari lahan
sawah. Salah satu di antaranya adalah reorientasi teknik pengolahan tanah, yang
diarahkan kepada penerapan teknologi TOT (Lamid dan Wentrisno 2001). Dengan
penerapan TOT, baik dengan irigasi berselang maupun macak-macak (saturation),
lahan sawah mampu menekan emisi gas metana 71% dibanding OTS (Setyanto 2008).
3.4.
Tanpa Olah Tanah dan
Konservasi Sumber Daya
Teknologi TOT
sudah lama diterapkan petani di Indonesia, terutama di Kabupaten Pasaman Timur,
Sumatera Barat. Mereka menyebutnya sebagai teknik TGT (tebas, gulung, dan
tanam). Gulma dan isa tanaman sebelumnya ditebas, kemudian digulung
untuk dijadikan pematang sawah guna menahan air dan tanam. Cara ini masih dipraktekkan
dan berkembang menjadi teknik budi daya TOT Dengan menggunakan herbisida untuk
mengendalikan gulma dan singgang padi dari tanaman sebelumnya (Argus Agronomics
1994; Hebblethwait 1996). TOT banyak
menghemat tenaga kerja, waktu, dan biaya sehingga sisa waktu yang masih
tersedia dapat digunakan untuk kegiatan produktif lainnya (off-farm dan on-farm)
guna menambah pendapatan keluarga. Teknologi ini juga telah diterapkan oleh petani
di lahan pasang surut tipologi B, C, dan D karena lebih menghemat tenaga kerja,
mempercepat tanam, dan tidak memerlukan banyak biaya untuk menyiapkan lahan
(Hosen et
al. 1998; Lamid et al. 2000 ).
Penerapan
teknologi TOT di lapangan bergantung pada penggunaan herbisida agar permukaan
tanah terhindar dari erosi permukaan
atau pelindian hara dan bahan organik (Hebblethwait 1996). Herbisida untuk
mengendalikan gulma dan singgang padi diharapkan relatif lebih murah dan mudah,
secara biologi tidak aktif dalam tanah (non-biological activity), dan
ramah lingkungan (Hosen et al. 1998; Lamid 2001). Namun, muncul keraguan
akan meningkatnya kepadatan tanah dan resistensi gulma terhadap bahan aktif
herbisida sejenis bila diaplikasikan secara terus-menerus pada setiap musim
tanam (Hakim et al. 1986; Monagro Kimia 1995; Lamid 1997).
Untuk
menghindari kepadatan tanah, penerapan TOT pada lahan sawah jenis tanah liat
berpasir atau liat berdebu hanya hingga empat musim tanam, lebih dari itu sulit
dilakukan penanaman. Karena itu, pada MT 5 diperlukan atu kali OTS dan selanjutnya dapat diterapkan
kembali TOT (Abdurrahman et al. 1994). Pada tanah Andosol, teknologi TOT
dapat diterapkan pada setiap musim tanam. Namun, pada tanah Aluvial hingga 17
musim tanam berturut-turut belum layak diselingi dengan OTS karena kepadatan
tanah berada pada angka 1,41 g/cm (Lamid
1998). Kalau kepadatan tanah belum mencapai 1,75 g/ cm 3 3 , penerapan TOT
masih layak diterapkan (Blevin 1984). Selanjutnya, aplikasi herbisida berbahan
aktif berbeda dapat mengurangi munculnya resistensi gulma.
Pelaksanaan
TOT sangat sederhana, tetapi pengguna dituntut untuk mampu mengikuti prosedur,
termasuk kalibrasi untuk aplikasi herbisida agar efektif mengendalikan gulma
sasaran dan singgang padi (Lamid dan Hermawan 1996). Artinya, padi ditanam pada
areal yang ditumbuhi gulma yang sedang menurun pertumbuhannya sehingga tanaman
lebih leluasa tumbuh dan berkembang. Pelaksanaan TOT sangat sederhana,tetapi
pengguna dituntut untuk mampu mengikuti prosedur, termasuk kalibrasi untuk
aplikasi herbisida agar efektif mengendalikan gulma sasaran dan singgang padi (Lamid
dan Hermawan 1996). Artinya, padi ditanam pada areal yang ditumbuhi gulma yang
sedang menurun pertumbuhannya sehingga tanaman lebih leluasa
tumbuh dan berkembang.
Teknologi TOT
telah diterima oleh sebagian petani di Sumatera Barat, tetapi belum tentu
diterima di daerah lain. Penerapan TOT bersifat spesifik sosioagroekosistem
(air irigasi bisa diatur dan tenaga kerja sangat terbatas) dan telah
direkomendasikan oleh Komisi Teknologi Pertanian Provinsi Sumatera Barat
(Komisi Teknologi 1998). Teknologi ini
bahkan termasuk ke dalam salah satu dari 10 jurus program intensifikasi paket D
oleh Setdal Bimas
padi sawah, di
mana OTS diubah menjadi olah tanah secara bijak (OTSB), terutama melalui TOT.
Ditinjau dari
keunggulannya,
terutama dalam hal konservasi lahan dan sumber daya petani, efisiensi input, dan peningkatan pendapatan, teknologi
TOT perlu disosialisasikan karena merupakan jawaban dari tantangan dalam mengatasi
kelemahan OTS.
3.5. Delineasi Wilayah Pengembangan Tanpa Olah Tanah
TOT secara teknis mempunyai keunggulan dibanding OTS, terutama
hemat tenaga kerja dan air irigasi.
Namun, teknologi tersebut tidak selalu dapat diterapkan di semua agroekosistem,
terutama lahan sawah irigasi teknis di mana tenaga kerja belum menjadi kendala.
Oleh karena itu, pengembangan TOT akan mendapat respons yang baik di wilayah
yang mempunyai tenaga kerja dan air irigasi terbatas.
Penerapan TOT bersifat spesifik sosioagroekosistem. Delineasi
pengembangan terkait dengan konservasi sumber daya pada lahan sawah dataran
tinggi (berlereng dan berjenjang) dan pasang surut tipologi B, C, dan D (
Ananto dan Fagi 1993; Utomo 1995). Namun implementasinya tidak diarahkan ke
wilayah usaha tani padat karya karena
akan menyaingi unit penyedia jasa alsintan olah tanah. Pada lahan sawah pasang
surut, penerapan TOT membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja dan air, serta
menekan pelarutan unsur besi dan sulfur pada zona oksidasi.
IV.
KEUNGGULAN DAN HAMBATAN
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TANPA OLAH TANAH
Banyak yang menganggap bahwa TOT adalah teknologi tradisional.
Namun, kajian ilmiah menunjukkan bahwa teknologi ini sangat relevan dalam
mendukung program peningkatan indeks pertanaman (IP) yang didukung oleh
varietas unggul umur genjah, dan sangat potensial dalam menghadapi perubahan
iklim, baik untuk adaptasi maupun mitigasi. Hasil penelitian dan pengkajian
selama 17 MT membuktikan bahwa teknologi TOT memiliki beberapa keunggulan dan
hambatan dalam pengembangannya di tingkat pengguna.
4.1.
Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya dan Biaya
Penerapan teknologi TOT pada penyiapan lahan dapat menghemat
kebutuhan air sekitar 27% dibanding teknologi OTS. Angka ini sudah
memperhitungkan kehilangan air melalui evapotranspirasi, perkolasi, dan seepage (Utomo et al.
1994). Lebih sedikitnya kebutuhan air pada saat penyiapan lahan disebabkan
oleh lama penggenangan lahan sebelum tanam (Lamid 2001). Pada lahan sawah jenis tanah Andosol, penggenangan yang
diperlukan hanya 35 hari, pada tanah Aluvial 10 hari, dan pada tanah Latosol
10-15 hari sebelum tanam. Dengan OTS diperlukan waktu 20-30 hari untuk melumpurkan
tanah sebelum tanam padi (Utomo et al. 1994). Penghematan penggunaan air ini akan mengurangi terjadinya
rebutan air irigasi antarpetani dan memperluas areal tanam di daerah yang
menerapkan sistem irigasi gilir giring.
Setelah aplikasi herbisida pada budi daya TOT padi sawah, luas
penutupan gulma tumbuh yang berasosiasi
dengan tanaman padi kurang dari 30% hingga tanaman berumur 45 HST (Lamid
2001). Dengan demikian, hanya diperlukan satu kali pengendalian gulma selama
pertumbuhan tanaman padi, yaitu pada 30 HST dengan jumlah tenaga kerja 25 HOK/
ha, sedangkan untuk OTS memerlukan dua kali penyiangan dan membutuhkan tenaga kerja
58 HOK. Oleh karena itu, penerapan TOT lebih hemat 57% HOK disbanding OTS.
Teknologi TOT hanya membutuhkan waktu 2 HOK untuk penyemprotan
herbisida, sedangkan teknologi OTS mencapai 39 hari/ha. Sekitar 25 hari di
antaranya menggunakan tenaga ternak untuk pembajakan I dan II, garu, dan
perataan lahan, serta 14 HOK untuk memperbaiki pematang (Ardjasa et al. 1994).
Dengan demikian, penerapan teknologi TOT menghemat 25 hari kerja ternak dan 12
HOK atau 95% dari penerapan OTS (Lamid dan Hermawan 1996).
Penerapan teknologi TOT pada lahan sawah pasang surut lebih
banyak menghemat biaya untuk persiapan lahan, mencapai 56-61%/ha. Hasil padi
dengan penerapan teknologi TOT bahkan 15,2% lebih tinggi dibandingkan dengan
teknologi OTS (menebas, melilit, menghamburkan sisa gulma, dan tanam) (Lamid et
al. 1996a, 1996b). Biaya yang diperlukan untuk penyiapan 1 ha lahan bagi
budi daya TOT hanya Rp50.000 untuk membiayai tenaga Kerja 2 HOK, ditambah
Rp280.000 untuk pembelian 4 liter herbisida, atau biaya total Rp330.000/MT/ha.
Dengan OTS, biaya yang diperlukan Rp600.000/MT/ha atau TOT 45% lebih hemat
(Adrizal et al. 1998).
4.2.
Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim
Penerapan
teknologi TOT pada lahan sawah dapat menekan emisi GRK seperti CO 2 , N O, dan
metana masing-masing 31,5%, 63,4%, dan 71% (Setyanto 2008). Hal ini disebabkan
dekomposisi gulma dan singgang padi
terjadi secara aerobic karena aplikasi herbisida tanpa mengganggu permukaan tanah dan tanpa penggenangan pada
saat penyiapan lahan (Argus Agronomics 1994; Lamid 2001). Pada saat terjadi
kekurangan air pengairan atau kemarau panjang, penerapan teknologi TOT tidak
merusak struktur tanah, hanya mengalami sedikit keretakan, sedangkan penerapan
OTS membuat tanah menjadi rengkah (Lamid 2001). Oleh karena itu, penerapan teknologi
TOT tidak mengganggu akar tanaman padi dan laju evaporasi pun lebih rendah sehingga
kondisi tanah tetap lembap untuk menunjang pertumbuhan tanaman lebih baik.
Penerapan teknologi TOT mempercepat waktu tanam sekitar 20 hari sehingga jarak
tanam antarmusim (turn around time) lebih singkat dan umur panen lebih cepat
(Lamid 2001). Pada gilirannya tanaman terhindar dari dampak kekeringan dan
IP300 atau IP400 mudah dicapai (Lamid et al. 1999a).
4.3 Peningkatan Produktivitas
Penerapan teknologi TOT
menyebabkan pertumbuhan morfofisiologi akar padi
secara horizontal relatif
pendek dan lebih besar sehingga perakaran banyak terakumulasi pada lapisan
oksidasi (zonasi hara), dan sebaliknya jika menerapkan teknologi OTS (perakaran
vertikal, ramping, dan panjang). Dengan demikian, hara lebih efisien diabsorpsi
oleh akar tanaman padi yang lebih luas permukaannya (Lamid 2001). Selain itu,
aplikasi herbisida membantu mempercepat pelapukan gulma dan singang tanaman
padi. Materi lapuk tersebut akan tinggal secara in situ dan menyumbang terhadap
kandungan C-organik tanah (Lamid 2001). Selanjutnya, dengan teknologi TOT nilai
total hara N, P, dan K dalam tanah selalu lebih rendah disbanding teknologi OTS
(Musfal et al. 1996; Lamid 2001). Artinya, hara tersebut banyak terabsorpsi
sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman.
Namun, informasi pengelolaan hemat hara tersebut untuk tanaman padi TOT belum
tersedia.
Jumlah gabah, gabah bernas,
dan bobot 1.000 butir gabah yang dihasilkan tanaman dengan penerapan teknologi
TOT 8-22% lebih tinggi dibanding OTS (Lamid 2001). Hal ini menunjukkan bahwa
gabah yang dihasilkan lebih banyak, lebih bernas, dan relatif lebih besar
sehingga berkontribusi terhadap peningkatan hasil padi. Penanaman padi dengan
teknologi TOT tidak selalu dengan cara tanam pindah, tetapi juga dapat dengan
cara tabela (Lamid dan Anhar 1979; Lamid 2001). Hal ini lebih menghemat tenaga
kerja, waktu (tanam dan panen lebih cepat), dan biaya produksi (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Tk I Sumatera Barat 1998).
4.3.
Kendala dan Hambatan
Penerapan teknologi TOT
kurang berkembang pada agroekosistem lahan sawah dibanding lahan kering. Hal
ini disebabkan oleh budaya petani yang masih terbiasa dengan OTS, belum
menyentuh pengguna karena kurangnya sosialisasi, diseminasi, dan promosi
teknologi TOT, dan berkembangnya unit pelayanan jasa alsintan sebagai pesaing
(Utomo 1995).
Kepemilikan lahan sawah
umumnya relatif sempit. Dalam kondisi tenaga kerja
pengolah tanah tersedia,
petani belum tertarik menerapkan teknologi TOT. Di
samping itu, teknologi TOT
belum dijadikan sebagai salah satu komponen teknologi dalam program Peningkatan
Produksi Beras Nasional (P2BN) melalui penerapan pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2010). Untuk lebih mengembangkan penerapan
teknologi TOT pada sosioagroekosistem spesifik maka sosialisasi, diseminasi,
promosi, dan pilot produksi padi sawah harus dilakukan. Untuk itu, pengambil
kebijakan terkait perlu mempertimbangkan teknologi TOT sebagai komponen
teknologi pilihan bagi petani dalam program peningkatan produksi padi nasional,
khususnya di lahan sawah.
V. ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
Penerapan dan pengembangan
teknologi TOT di lapangan belum sesuai dengan
harapan, padahal teknologi ini
dapat dijadikan salah satu komponen teknologi dalam penerapan PTT padi sawah.
Oleh karena itu, arah dan strategi pengembangannya dapat disesuaikan dengan agroekosistem
yang ada.
5.1.
Arah Pengembangan
Pemanfaatan jasa ekologi
(ecological services) secara optimal dalam pengembangan teknologi TOT padi
sawah secara berkelanjutan, diarahkan pada dataran rendah, dataran tinggi
berlereng dan berjenjang (teraccering), dan sawah pasang surut tipologi B, C,
dan D. Pengembangannya juga untuk
mempercepat pengembangan teknologi hemat tenaga kerja, waktu, dan biaya
(conserving resource technology) pada wilayah sosioagroekosistemnya, terutama
pada daerah yang langka tenaga kerja, dan daerah yang selalu bermasalah dengan
pengairan.
5.2.
Strategi Pengembangan
Petani sebagai pengguna
teknologi dituntut untuk berperan aktif dalam memilih
dan menguji teknologi yang
sesuai dengan kondisi setempat, dan meningkatkan kemampuan melalui proses
pembelajaran di lapangan. Penerapan teknologi memerhatikan keterkaitan dengan
komponen teknologi lainnya yang saling mendukung dan berwawasan lingkungan.
Penerapan teknologi di
lapangan dapat diukur dengan keuntungan yang diperoleh dari segi ekonomi usaha
tani dan konsistensi konservasi sumber daya pada setiap musim tanam. Di samping
itu, keterlibatan pengambil kebijakan dan Forum Komunikasi Olah Tanah
Konservasi (FK- OTK) turut menentukan pengembangan teknologi di lapangan.
Aplikasinya perlu memerhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik,
sosial-budaya, dan ekonomi petani setempat.
VI.
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Penerapan TOT yang
diintegrasikan dengan pengendalian gulma memberikan beberapa manfaat, antara
lain hemat tenaga kerja dan air serta adaptif dan mitigatif dalam menghadapi
perubahan iklim, namun tidak dapat
diterapkan di semua agroekosistem padi sawah. Pengembangan teknologi TOT yang
diintegrasikan dengan pengendalian gulma dapat dipercepat pada agroekosistem
dataran tinggi berlereng dan berjenjang serta lahan sawah pasang surut tipologi
B, C, dan D.
Dalam budi daya padi sawah,
petani sudah terbiasa menerapkan OTS. Untuk mengubah kebiasaan tersebut
diperlukan sosialisasi, diseminasi, dan promosi teknologi TOT.
Teknologi TOT padi sawah
dikembangkan berdasarkan pertimbangan: (1) hemat
tenaga kerja, waktu, dan
biaya penyiapan lahan; (2) konservasi lahan dan sumber daya petani; dan (3)
hasil dan keuntungan usaha tani lebih tinggi pada sosio-agroekosistem spesifik.
Pengembangan teknologi TOT secara nasional memerlukan dukungan pengambil
kebijakan, lembaga penelitian, terutama Badan Litbang Pertanian, dan melibatkan
FK-OTK, baik dalam kegiatan sosialisasi dan pendampingan teknologi maupun
sebagai pemandu atau pelatih petugas dan petani di lapangan.
DAFTAR
– PUSTAKA
Abdurrahman,
A., W. Hermawan, dan Hartarto. 1994. Sistem tanpa olah tanah pada padi sawah
dengan herbisida glifosat. Prosiding Konferensi Himpunan Ilmu Gulma Indonesia
XII: 217- 221.
Adrizal,
W. Hermawan, Z. Lamid, dan N.Hasan. 1998. Keunggulan komparatif teknik budi
daya tanpa olah tanah dengan herbisida glifosat pada padi sawah. hlm. 475-479.
Dalam Z. Irfan, Z. Lamid, D. Jahja, Irawati, dan Ardi (Ed.). Prosiding Seminar
Nasional VI Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia, Padang.
Ananto,
E.E. 1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi. hlm. 631-652. Dalam M.
Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ananto,
E.E. dan A.M. Fagi. 1993. Pengolahan tanah di jalur pantura Jawa Barat. hlm.
101-108. Dalam M. Syam, H. Kasim, dan A. Musaddad (Ed.). Risalah Seminar Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, April 1992-Maret 1993. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ardjasa,
W.S., Widyantoro, G.E. Maliawan,W. Hermawan, dan S. Asmono. 1994.Sistem tanpa
olah tanah dengan herbisida isopropil amin glifosat 16 dan 24% dan pemupukan
dalam pengendalian gulma padi sawah. Prosiding Konferensi Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia XII: 209-216.
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian
Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta. 102 hlm.
Bangun,
P. dan M. Syam. 1989. Pengendalian gulma pada padi. hlm. 579-599. Dalam M.
Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Bangun,
P. 1995. Budidaya padi sawah dengan
sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-305. Dalam M. Utomo, F.X. Susilo, R.J. Dad,
Sembodo, Sugianto, H. Susanto, dan A. Setiawan (Ed.). Prosiding Seminar
Nasional V Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi, Universitas
Lampung-Himpunan Ilmu Gulma Indonesia-Himpunan Ilmu Tanah Indonesia-Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bandar Lampung.
Ditjentan
(Direktorat Jenderal Tanaman Pangan). 2010. Pedoman Pelaksanaan SLPTT Padi,
Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010. Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan, Jakarta. 123 hlm.
Effendi,
I. dan M. Utomo. 1993. Analisis perbandingan tenaga kerja, produksi dan
pendapatan usaha tani kedelai pada sistem tanpa dan olah tanah biasa di Rawa
Sragi, Lampung. hlm. 247-253. Dalam M. Utomo, I.H. Utomo, dan F.X. Susilo
(Ed.). Prosiding Seminar Nasional IV Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi,
Universitas Lampung-Himpunan Ilmu Gulma Indonesia-Himpunan Ilmu Tanah Indonesia-Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bandar Lampung.
Hasny,
Z., I. Anas, dan P. Bangun. 1989.Hubungan antara persiapan tanam dan sistem
pengendalian gulma dengan aktivitas mikroorganisme. Makalah disampaikan pada
Kongres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia V, Medan, 7-10 Desember 1989.
Lamid,
Z., G. Adlis, S. Praja, dan D.A. Mannan. 1996b. Penggunaan herbisida purnatumbuh
untuk penyiapan lahan budi daya padi sawah pasang surut. Prosiding Konferensi
Himpunan Ilmu Gulma Indonesia XIII (2): 379-387.
Lamid,
Z. dan Wentrisno. 2001. Teknologi persiapan lahan tanpa olah tanah (TOT) untuk
budi daya padi, kedelai dan jagung. hlm. 85-76. Dalam M. Rangkuti, I W.
Rusastra, J. Limbongan, M. Slamet, A. Syam, dan D. Bulo (Ed.). Prosiding
Seminar Nasional Memantapkan Rekomendasi Paket Teknologi Pertanian dan
Ketahanan Pangan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
Monagro
Kimia. 1995. Padi sawah tanpa olah tanah: Teknologi tanpa olah tanah salah satu
alternatif teknologi terapan dalam meningkatkan efisiensi waktu, tenaga dan
biaya produksi dan indeks pertanaman. Makalah Utama Seminar Sehari Peningkatan
Produksi Padi di Provinsi Riau, Pekanbaru, 25 Februari 1995.
Taslim,
H., S. Partoharjono, dan Djunainah. 1989. Bercocok tanam padi sawah. hlm. 507-522.
Dalam M. Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi
(Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.