teks

SELAMAT DATANG DI BLOG BPP KECAMATAN TIRISblink>

Rabu, 23 Januari 2013

KANDUNGAN BAHAN AKTIF MIMBA






Oleh :
ANANG BUDI PARSETYO,SP
BPP KECAMATAN GADING
KABUPATEN PROBOLINGGO






Tanaman merupakan gudang bahan kimia yang kaya akan kandungan berbagai jenis bahan aktif. Di dalam tanaman mungkin terkandung puluhan atau ratusan, bahkan ribuan jenis bahan kimia, sehingga sangat sulit untuk menentukan jenis dan fungsi atau manfaat setiap jenis kandungan bahan aktif tersebut. Dikenal suatu kelompok bahan aktif yang disebut “Produk metabolit sekunder” (Secondary metabolic products), dimana fungsinya bagi tumbuhan tersebut dalam proses metabolismenya kurang jelas. Namun kelompok ini dikenal berperan dalam hal berinteraksi atau berkompetisi, termasuk menjadi bahan untuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya (Kardinan, 2002).
Kandungan bahan aktif insektisida biji mimba lebih banyak dibandingkan daun. Biji mimba mengandung beberapa komponen aktif pestisida antara lain azadirachtin, salannin, azadiradion, salannol, salanolacetate, 3-deacetyl salannin, 14-epoxyazadiradion, gedunin, nimbenin, dan deacetyl nimbinen (Jones et al., dalam Schmutterer, 1990). Dari beberapa komponen aktif tersebut ada empat senyawa yang diketahui sebagai pestisida yaitu azadirachtin, salannin, nimbinen, dan meliantriol. Komponen lainnya belum diketahui secara pasti (Anon., 1992).
              Mimba, terutama dalam biji dan daunnya mengandung beberapa komponen dari produksi metabolit sekunder yang diduga sangat bermanfaat, baik dalam bidang pertanian (pestisida dan pupuk), maupun farmasi (kosmetik dan obat-obatan). Beberapa diantaranya adalah azadirachtin, salanin, meliantriol, nimbin dan nimbidin (Ruskin, 1993). Azadirachtin sendiri terdiri dari sekitar 17 komponen dan komponen yang mana yang paling bertanggung jawab sebagai pestisida atau obat, belum jelas diketahui (Rembold, 1989). Mimba tidak membunuh hama secara cepat, namun mengganggu hama pada proses makan, pertumbuhan, reproduksi dan lainnya (Senrayan, 1997)
Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu suatu hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosa serangga. Serangga akan terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva, atau dari larva menjadi kepompong atau dari kepompong menjadi dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian (Chiu, 1988).
Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-feedant) yang mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati. Oleh karena itu, dalam penggunaan pestisida nabati dari mimba, seringkali hamanya tidak mati seketika setelah disemprot (knock down), namun memerlukan beberapa hari untuk mati, biasanya 4-5 hari. Namun demikian, hama yang telah disemprot tersebut daya rusaknya sudah sangat menurun, karena dalam keadaan sakit (Ruskin, 1993).
Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga hama enggan mendekati zat tersebut. Suatu kasus terjadi ketika belalang Schistocerca gregaria menyerang tanaman di Afrika, semua jenis tanaman terserang belalang, kecuali satu jenis tanaman, yaitu mimba (Sudarmadji, 1999). Mimbapun dapat merubah tingkah laku serangga, khususnya belalang (insect behavior) yang tadinya bersifat migrasi, bergerombol dan merusak menjadi bersifat solitair yang bersifat tidak merusak (informasi lisan Prof. K. Untung).
Nimbin dan nimbidin berperan sebagai anti mikro organisme seperti anti-virus, bakterisida, fungisida sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengendalikan penyakit tanaman (Ruskin, 1993). Tidak terbatas hal itu, bahan-bahan ini sering digunakan dan dipercaya masyarakat sebagai obat tradisional yang mampu menyembuhkan segala jenis penyakit pada manusia (Kardinan dan Taryono, 2003).
Selain mengandung bahan-bahan tersebut di atas, di dalam tanaman mimba masih terdapat berpuluh, bahkan beratus jenis bahan aktif yang merupakan produksi metabolit sekunder yang belum teridentifikasi dan belum diketahui manfaatnya. Oleh karena itu,penelitian mengenai penggalian potensi mimba masih banyak diperlukan.
















 


READ MORE - KANDUNGAN BAHAN AKTIF MIMBA

BIOEKOLOGI BURUNG HANTU (TYTO ALBA) SEBAGAI PREDATOR TIKUS



BIOEKOLOGI BURUNG HANTU
(TYTO ALBA)
SEBAGAI PREDATOR TIKUS

Oleh :
ANANG BUDI PRASETYO,SP
BPP KECAMATAN GADING
KABUPATEN PROBOLINGGO



Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer) merupakan hama yang dapat menimbulkan kerugian bagi tanaman pertanian, yang dapat menyerang tanaman padi, jagung, kedelai, ka cang tanah dan ubi-ubian. Perkembangbiakan tikus sangat cepat, sehingga perlu dikendalikan dengan mengikuti konsep PHT, Salah satu cara mengendalikan tikus adalah menggunakan mu suh alami (biologis).


Selain ular, musuh alami tikus adalah burung hantu T. alba yang daerah penyebarannya luas Burung ini digunakan sebagai predator., karena burung hantu sebagai burung pemangsa (rapeor) yang berburu hewan lain untuk makanannya.Burung ini dapat beradaptasi khusus (unik), membuatnya berbeda dengan mahluk yang lain. Mempunyai kemampuan visual yang luar biasa, pendengaran yang tajam, kemampuan terbang dengan senyap, mempunyai cakar dan paruh burung ini dapat bertelur 2 – 3 kali setahun,sekali bertelur 6 – 12 butir. Baik digunakan sebagai musuh alami tikus, karena cepat berkembang biak.


Burung hantu termasuk spesies burung nokturnal, yang beraktivitas pada malam hari, penglihatannya sangat tajam, dimana dapat melihat mangsanya dari jarak jauh. Memiliki pendengaran sangat tajam dan mampu mendengar suara tikus dari jarak 500 m. Hidupnya berkelompok dan cepat berkembang biak. Induknya mampu bertelur 2 – 3 kali setahun. Sekali bertelur bias mencapai 6 – 12 butir dengan masa mengeram selama 27 – 30 hari (Agus Mulyono, 2010). Bentuk telur bulat, berwarna putih, berukuran panjang 38 – 46 mm, dan lebar 30 – 35 mm. (Saniscara, 2008).

Burung hantu Tyto alba merupakan salah satu predator yang potensial karena spesies ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan spesies lain yaitu ukuran tubuh yang relatif lebih besar , memiliki kemampuan membunuh dan memangsa tikus cukup baik, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan cepat berkembang biak.
BIOEKOLOGI, CIRI-CIRI UMUM, TAHAP PERKEMBANGBIAKAN DAN TINGKAH LAKU BURUNG HANTU

Bioekologi burung hantu, ciri-ciri umumnya yang dapat dilihat dialam bebas, cara dan proses perkembangbiakan dan tingkah laku dalam hubungannya dan interaksi dengan alam dan mangsa utama dan mangsa lain (non utama) seperti serangga dan sebagainya adalah sebagai berikut:

Bioekologi burung hantu


Bioekologi Burung Hantu (Tyto alba) Burung hantu dapat hidup tersebar luas hampir diseluruh dunia (warna hijau), tetapi tidak terdapat di Antartika dan bahkan hampir di seluruh bagian dunia. Burung Serak Jawa (Tyto alba) pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Soopolli tahun 1769, nama alba berkaitan dengan warnanya yang putih (Lewis, 1998). T. alba termasuk family Tytonidae.

Ciri-Ciri Umum T. alba

Warna bulu sayap atas dan punggung abu-abu agak kuning. Sayap bawah dan dada sampai perut warna putih berbintik hitam. T. alba betina bulu leher depan berwarna kuning berbintik hitam, dan yang jantan warnanya putih berbintik hitam. Bola matanya hitam, tajam, keduanya menghadap kedepan dan dibawahnya terdapat paruh yang ujungnya bengkok keba wah, tajam dan kokoh. Kaki berbulu dengan empat jari dan mempunyai kuku yang tajam. Bobot dewasa 450 – 600 g, tinggi badan 23 – 30 cm dengan rentang sayap kanan 33,5 cm, se dangkan rentang sayap kiri 33 cm. Panjang kaki 11,45 cm, panjang tubuh 30,75 cm. Diame ter kaki 1,14 cm, dan panjang ekor 10,85 cm. Tyto alba betina lebih berat daripada yang jantan  (Sujatmiko, 2010).

Tahap Perkembangbiakan T. alba T. alba ditempatkan sepasang atau beberapa pasang dalam sarang buatan. Sarang buatan diperlukan karena burung hantu bukan tipe burung pem buat sarang. 7 hari setelah penetasan telur pertama anak burung dapat memuntahkan sisa maka nan yang tidak tercerna, tetapi belum berbentuk pellet. Pada 8 hari mata mulai terbuka, pada hari ke 10 anak burung mulai mengeluarkan faeces, pada hari ke 11 induk betina mulai jarang mengerami anaknya dan induk mulai berburu makan untuk anak dan dirinya, pada hari ke 14 anak burung dapat menelan mangsa secara utuh (tanpa bantuan pengunyahan induknya), pada hari ke 15 anak burung mulai mengeksplorasi sekitar sarang, pada hari ke 21 anak tertua sudah berumur berumur 3 – 4 minggu, induk betina berhenti mengerami, mengunjungi sarang hanya untuk memberi makan.


Selanjutnya pada hari 35 – 42 anak burung mulai melatih sayapnya dan berjalan keluar dari sarang, kadang- kadang anak burung yang tertua memangsa anakan yang muda (melaku kan kanibalisme), pada hari ke 49 – 56 anak burung tertua meninggalkan sarang. Induk te tap memberi makan anak-anaknya baik di luar maupun di dalam sarang sampai semua keturunan nya mampu terbang. Pada hari ke 60 anak yang baru sudah bisa terbang dan mulai bermain dengan mangsa seperti serangga. Pada hari ke 72 anak burung mulai menangkap mangsa sendi ri dari ketinggian, pada 78 hari anak burung mulai meninggalkan sarang dan membentuk terito ri sendiri dan setelah cukup berumur 10 – 18 bulan seluruh anggota keluarga burung sudah mu lai mampu berkembang biak (Saniscara, 2008).

Cara Berburu Mangsa Tyto alba Burung hantu


T. alba merupakan burung pemangsa (raptor), yang berburu hewan lain untuk makanan nya.Burung dewasa berburu sesaat setelah senja, dan perburuan berikutnya sekitar 2 jam men jelang fajar Namun jika sedang membesarkan anak , akan aktif berburu sepanjang malam. Sangat jarang dijumpai berburu pada siang hari. Jika terjadi perburuan di siang hari, bisa didu ga burung tersebut sedang mengalami kelaparan. Burung hantu aktif pada malam hari, karena nya ia memiliki system pendengaran yang baik, dan wajah cakram yang sangat terbuka, yang berlaku sebagai radar. Paruhnya mengarah lurus ke bawah, meningkatkan luas permukaan se hingga gelombang suara dapat dikumpulkan oleh cakram wajah sehingga memungkinkan un tuk mendengar suara yang sangat pelan sekalipun dari mangsa di dalam vegetasi. Sekali me ngetahui arah korbannya, ia akan terbang menghampiri, menjaga kepalanya segaris dengan arah suara. Jika mangsa bergerak, burung akan mampu mengoreksi di tengah penerbangan. Saat sekitar 60 cm dari mangsa, burung akan memajukan kakinya ke depan dan cakarnya di bentangkan membentuk pola oval.. Sesaat sebelum menyerang , akan menghentakkan ka kinya melewati mukanya dan seringkali dekat matanya sebelum membunuh (Saniscara, 2008).
Setiap ekor burung akan memakan 2 – 3 ekor per hari, dengan jangkauan terbang hingga 12 km. Pada tahun 2004, Dinas Pertanian Jatim mencatat sedikitnya 46 ha lebih lahan sawah yang rusak akibat serangan tikus. Jumlah ini mengalami penurunan setelah mendapat bantuan bu rung hantu hingga menjadi 19 ha pada tahun 2005 (Warsono, 2007). Pada perkebunan kelapa sawit dengan memelihara burung hantu dapat menurunkan serangan tikus dari 20 – 30% men jadi 5%. Ambang kritis serangan tikus di perkebunan kelapa sawit adalah 10%. Sepasang T, alba di dalam sangkar mampu memangsa 3650 ekor tikus per tahun, dan seekor burung hantu mampu memangsa tikus 2 – 5 ekor per hari (Erik, 2008).

KESIMPULAN


Dengan memelihara burung hantu dalam sangkar dapat mengurangi serangan tikus, baik diper sawahan maupun di perkebunan kelapa sawit. T. alba cepat berkembang biak, mampu bertelur 2 – 3 kali setahun, kemudian menjadi dewasa setelah berumur 8 bulan. Burung hantu T. alba dapat merupakan predator tikus yang sangat potensial, mampu menurunkan kerusakan pada tanaman muda kelapa sawit dari 20 – 30% menjadi 5%. Seekor burung mampu memangsa 2 – 5 ekor tikus per malam.

Sumber tulisan:
Surtikanti, Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros
Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 7 Juni 2011.
Foto: bahasajepun.com
 
READ MORE - BIOEKOLOGI BURUNG HANTU (TYTO ALBA) SEBAGAI PREDATOR TIKUS