teks

SELAMAT DATANG DI BLOG BPP KECAMATAN TIRISblink>

Minggu, 17 Juni 2012

KEBANGKITAN PERTANIAN NASIONAL: MERETAS JEBAKAN GLOBALISASI DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN


KEBANGKITAN PERTANIAN NASIONAL: MERETAS
JEBAKAN GLOBALISASI DAN LIBERALISASI
PERDAGANGAN
Oleh :
ANANG BUDI PRASETYO
PPL BPP KECAMATAN TIRIS
KABUPATEN PROBOLINGGO


I.          PENDAHULUAN

Abad ke-21diprakirakan menjadi abad perubahan perekonomian global sebagai akibat dari perubahan ekonomi industry pada abad ke-20 menjadi ekonomi in-formasi dan pengetahuan. Kondisi ini akan mengubah jati diri perekonomian lokal, nasional dan internasional, serta sosial, budaya, dan politik. Perubahan pereko-nomian global dipicu oleh kemajuan tek-nologi, informasi, komunikasi, dan perubahan kebijakan pasar. Kebijakan dan campur tangan pemerintah yang sangat kuat di sebagian besar negara pada banyak industri dan pasar melemah dan digantikan kekuatan globalisasi, liberalisasi, dan de-regulasi. Kekuatan-kekuatan ini telah me-ngukuhkan peran pasar dalam pengalo-kasian sumber daya, produksi, serta pen-jualan barang dan jasa dalam skala global. Akankah semuanya ini dapat mening-katkan kesejahteraan masyarakat Indonesia?

Globalisasi adalah proses interaksi dan integrasi antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah di berbagai negara, yang digerakkan oleh perdagangan dan investasi internasional dan mobilitas tenaga kerja serta dibantu oleh teknologi dan jasa informasi dan komunikasi. Liberalisasi di bidang ekonomi diartikan sebagai pengu-rangan aturan, pelarangan atau pemba-tasan wewenang pemerintah di bidang ekonomi untuk mendorong kelancaran arus barang pertanian dari petani ke kon-sumen. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara umum diharapkan akan makin meningkat. Gerakan liberalisasi berjalan secara multilateral, regional, bilateral atau bahkan unilateral melalui perundingan.

Perubahan ini memberi ketidakpastian dan arah pengembangan ke depan yang makin sulit bagi sektor pertanian nasional dan bahkan berpotensi menjebak sektor ini di masa depan. Karena itu timbul pertanyaan, siapa di antara kelompok warga negara dan kelompok negara yang mendapat manfaat paling besar dari system globalisasi dan liberalisasi. Pertanyaan ini penting artinya mengingat teknologi infor-masi dan pengetahuan yang didukung oleh aturan globalisasi dan liberalisasi atau aturan globalisasi dan liberalisasi yang memacu pengembangan teknologi informasi, komunikasi, dan pengetahuan, diproduksi dan dikuasai negara maju. Sementara masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia masih terbatas sebagai pasarPerubahan ini memberi ketidakpastian dan arah pengembangan ke depan yang makin sulit bagi sektor pertanian nasional dan bahkan berpotensi menjebak sektor ini di masa depan. Karena itu timbul perta-nyaan, siapa di antara kelompok warga negara dan kelompok negara yang men-dapat manfaat paling besar dari system globalisasi dan liberalisasi. Pertanyaan ini penting artinya mengingat teknologi infor-masi dan pengetahuan yang didukung oleh aturan globalisasi dan liberalisasi atau atur-an globalisasi dan liberalisasi yang memacu pengembangan teknologi informasi, komunikasi, dan pengetahuan, diproduksi dan dikuasai negara maju. Sementara masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia masih terbatas sebagai pasar dan pengguna potensial produk teknologi dan pengetahuan serta aturan-aturan yang dihasilkan.
Pada kesempatan yang baik ini, saya akan menguraikan dinamika globalisasi dan liberalisasi di bidang pertanian melalui mekanisme perdagangan internasional yang mengalami banyak perubahan, serta menganalisis pengaruh dan potensi jebak-annya pada sektor pertanian. Dikemukakan pula beberapa gagasan untuk menghadapi tantangan tersebut.

II.         PERUBAHAN SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA

2.1.  Keunggulan Komparatif dan Analisis Dampak Tarif dan Kuota Impor

Kebijakan perdagangan bebas atau libe-ralisasi sebagai tonggak perundingan per-dagangan multilateral sejak GATT (se-karang Organisasi Perdagangan Dunia/ OPD atau  World Trade Organization/ WTO) berakar dari teori keunggulan komparatif (Ricardo 1821) dan analisis dampak tarif dan kuota impor. Teori keung-gulan komparatif menyatakan bahwa suatu negara mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu barang apabila biaya yang dibutuhkan lebih kecil daripada negara lain. Dengan demikian, perdagangan antara dua negara akan menguntungkan karena setiap negara dimungkinkan meng-khususkan diri pada produksi barang tertentu secara efisien.

Teori analisis dampak tarif dan kuota impor menyatakan bahwa pengenaan tariff pada suatu produk, misalnya produk pertanian, menyebabkan harga produk di dalam negeri naik. Petani memperoleh rangsangan untuk meningkatkan produksi,
sementara konsumen berusaha mengu-rangi konsumsi dan pemerintah memperoleh pendapatan dari pengenaan tarif. Namun, masyarakat secara umum dirugikan karena kerugian konsumen jauh melebihi keuntungan yang diperoleh petani dan tambahan penerimaan bagi pemerintah. Apabila tarif ini dihapus dan perdagangan bebas diberlakukan maka masyarakat secara keseluruhan akan mendapat manfaat positif.

Dua pendekatan di atas dideduksi dari teori ekonomi neoklasik yang merupakan sintesis dari teori ekonomi persaingan be-bas klasik (homoeconomicus dan invisible hand), ajaran kepuasan marjinal, dan kese-imbangan umum. Dengan memperkenalkan pengertian “tangan tersembunyi” atau invisible hand, Smith (1776) meyakini pasar mampu mengkoordinasikan perilaku dan tindakan banyak orang yang memproduksi barang yang berbeda. Mekanisme pasar bersaing bebas, dengan berbagai andaian, selalu menuju keseimbangan dan keefisienan optimal yang baik bagi semua unsur yang terlibat (pareto optimal). Dengan kata lain, jika pasar dibiarkan bebas dan tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekali pun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan optimal bersama (Mubyarto 2002).

Secara implisit, sistem ekonomi pasar yang melandasi teori keunggulan komparatif diandaikan bersaing sempurna, yakni setiap pelaku ekonomi mempunyai akses informasi yang sama. Teori ini juga didasar-kan pada andaian bahwa modal tidak berpindah, tetap ditanam di dalam negeri, dan pasar akan mengatur dirinya sendiri.
Anjuran kebijakan dan desakan ke arah globalisasi dan liberalisasi dalam 30-40 tahun terakhir di seluruh dunia didasarkan pada pengkhususan produksi mengikuti teori keunggulan komparatif. Perundingan multilateral yang difasilitasi oleh OPD dan resep kebijakan lembaga publik interna-sional seperti Bank Dunia (BD) serta Dana Moneter Internasional (DMI) bertumpu pada liberalisasi melalui tiga kebijakan pokok, yaitu keterbukaan terhadap perdagangan internasional, kemantapan ekonomi makro, dan pembatasan campur tangan pemerintah dalam ekonomi (Williamson 2002).

2.2.Pandangan Kritis terhadap Andaian-andaian Teori Keunggulan Komparatif

Teori ekonomi arus utama dan teori keung-gulan komparatif yang melandasi teori perdagangan bebas saat ini telah digugat oleh banyak ahli, antara lain Keen (2001), Nelson (2001), dan Ormerod (2001). Selain secara terbuka mengenalkan berbagai andaian yang sangat sederhana, teori tersebut secara terselubung juga menyimpan berbagai andaian yang sangat ketat. Keduanya memiliki kelemahan. Persaingan sempurna yang menjadi andaian dasar tidak ditemui di dunia nyata perdagangan domestik dan internasional. Bentuk yang umum ditemui adalah persaingan tidak sempurna seperti monopoli, monopolistik, oligopoli, dan oligopolistik (Hutabarat et al. 1989; Hutabarat et al. 1993; Hutabarat dan Yusdja 1995; Hutabarat dan Rahmanto 2004). Harga dan jumlah produk yang diperdagangkan tidak sama dengan apa yang diramalkan pasar bersaing sempurna, seperti dibuktikan oleh kasus  intra-industry trade, yakni barang yang sama dapat diperdagangkan antara dua negara.

Andaian pemilikan akses informasi pasar yang sama oleh pelaku ekonomi tidak ditemui dalam kenyataan (Stiglitz 2002). Ini dapat menimbulkan ketidakpastian usaha tani dan harga (Hutabarat 1987, 2006). Petani bahkan sering tidak mempedulikan aba-aba pasar. Mereka berproduksi untuk tujuan keamanan pangan dan kesesuaian tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik serta tradisi. Petani padi, misalnya, selalu menanam padi selama pengairan tersedia. Bahkan ketidaksempurnaan informasi pasar dapat mendorong petani untuk menganekaragamkan tanaman usaha tani (Marisa dan Hutabarat 1988; Rachmat dan Hutabarat 1988; Rachmat et al.1988; Sayaka dan Hutabarat 1996). Selain itu, pelaku pasar/usaha tidak benar mewarisi nafsu persaingan dan keserakahan semata. Niat kerja sama yang adil juga ada dan melekat dengan sifat kebakaan manusia itu sendiri (Hahnel 2002).

Andaian teori keunggulan komparatif tentang biaya tandingan tenaga kerja tetap bertentangan dengan kenyataan yang ada, yakni makin banyak suatu barang diproduksi, makin banyak pula barang lain yang harus dikorbankan atau tidak diproduksi.  Andaian modal yang tidak berpindah dan tetap diinvestasikan di dalam negeri juga keliru. Sejak Smith dan Ricardo menulis sekitar 200 tahun lalu, banyak perubahan yang telah terjadi di dunia. Kini modal bukan lagi sebagai faktor produksi tetap, tetapi sudah menjadi faktor produksi yang mudah berpindah. Bagi negara yang tidak memiliki atau telah mengalami kelangkaan sumber daya alam, teori keung-gulan komparatif menjadi kurang relevan. Faktor yang lebih diutamakan perusahaan untuk berinvestasi masa kini adalah pasar tujuan, tenaga kerja, dan iklim investasi. Dengan andaian ini, teori juga menjadi tidak
konsisten, yakni faktor produksi (modal atau tenaga kerja) yang diandaikan tidak berpindah, tetapi digunakan sebagai pendukung kebijakan untuk meliberalisasi atau membuat tapal batas suatu negara agar makin mudah ditembus oleh modal dan barang dari luar.

Aspek yang juga diabaikan oleh teori keunggulan komparatif adalah biaya perdagangan, misalnya akses ke transportasi, jarak ke pasar ekspor, biaya administrasi, dan eksternalitas negatifnya. Namun, faktor-faktor ini makin mahal dan dapat menghambat arus perdagangan di masa depan.

Teori keunggulan komparatif juga ditentang oleh Porter  dalam Tarmidi  dan Basri (1997), yang membuktikan bahwa keunggulan komparatif tidak terletak di tingkat nasional, tetapi di tingkat industry atau bagian industri tertentu. Meskipun secara finansial dan ekonomi usaha pertanian menguntungkan dan memiliki keunggulan komparatif, kenyataan di lapangan menunjukkan impor komoditas pertanian tetap berjalan dan investasi pada usaha tani komoditas tersebut tidak berkembang (Hutabarat et al. 1990, 1992, 1997, 1998; Hutabarat dan Agustian 1998).

Teori ekonomi mikro dasar juga menunjukkan bahwa persaingan sempurna dalam suatu industri dengan penerimaan yang meningkat bersifat tidak mantap. Kemantapan perkembangan industri hanya terjadi pada pasar persaingan tidak sem-purna seperti oligopoli. Tinjauan Krugman (1987) serta Antweiler dan Trefler (2002) atas teori perdagangan yang baru menunjukkan bahwa pertama, hasil akhir laissez-faire tidak optimal lagi digunakan dan kedua, penolakan atas campur tangan pemerintah tidak didukung oleh landasan teori yang kuat. Menurut Daly dan Cobb (1989), teori ekonomi neoklasik cenderung menyamakan manfaat kegiatan ekonomi dengan peningkatan barang dan jasa yang diterima anggota masyarakat, tidak menyentuh perubahan mutu hubungan yang menjalin masyarakat tersebut. Akibatnya, kekuatan ekonomi yang terpusat di tingkat global, yang dijunjung perdagangan bebas, sementara kekuatan politik tersebar di tingkat nasional dan lokal, sangat mengekang peran dan rentang kendali yang diperlukan pemerintah dalam menghadapi masalah di luar pasar.

Pengkhususan produksi suatu barang juga membuat suatu negara menjadi sangat bergantung pada kegiatan perdagangan. Ini mengabaikan dimensi komunitas dalam menyejahterakan masyarakat (Daly 1994). Karena itu, adu tawar negara yang tidak waspada menjaga swasembada kebutuhan pokoknya akan menjadi rapuh. Ini akan berpengaruh pada kesempatan kerja masyarakat, padahal kesejahteraan sebagian warga masyarakat ditentukan oleh cara mereka memperoleh pendapatan dan mem-belanjakan pendapatan itu sendiri.

Dalam menganalisis kinerja ekonomi sepanjang waktu, teori neoklasik juga memilih dua andaian yang salah,  pertama, kelembagaan tidak penting dan  kedua, waktu tidak penting (North 1993). Kelembagaan itu penting untuk membangun struktur rangsangan masyarakat, dan kelembagaan politik dan ekonomi yang dihasilkan masyarakat adalah penentu utama kinerja ekonomi. Dimensi waktu juga penting karena berkaitan dengan perubahan sosial-ekonomi di mana manusia belajar membentuk, mengubah, dan mengembangkan kelembagaannya. Keengganan teori ekonomi neoklasik memasuk-kan faktor budaya dan keadilan dalam model analisis juga dicatat oleh Aziz (1997) dan Mubyarto (2002). Sistem ekonomi lestari dan dapat berkembang memerlukan modal sosial dan budaya yang kuat seba-gai pendukung, selain modal uang dan keterampilan manajemen (Sumardjan 2002)

2.3.  Dampak Liberalisasi Perdagangan Dunia dan Kawasan

Pengaruh liberalisasi perdagangan telah menjadi kajian empiris yang sangat menarik akhir-akhir ini, berupa analisis setelah peristiwa terjadi (ex-post) dan prakiraan (ex-ante) yang bersifat agregat atau kelompok wilayah dan benua. Di Indonesia, kajian dilakukan antara lain oleh Erwidodo dan Feridhanisetyawan (1997),  Achterbosch et al. (2004), Hutabarat et al.  (2004, 2005, 2006, 2007;  Hutabarat dan Dermoredjo 2008), dan Purba et al.  (2007). Secara umum, kesimpulan dari kajian tersebut adalah keterbukaan pasar melalui pe-ngurangan hambatan perdagangan secara bersama di seluruh negara, akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia. Namun, beberapa ang-gota atau kelompok masyarakat tertentu menderita kerugian karena peningkatan harga di dalam negeri.

Di tingkat agregat global, analisis pengaruh liberalisasi bagi negara berkembang memberikan hasil yang bertolak belakang. Satu pihak menyatakan liberalisasi dan globalisasi meningkatkan kesejahteraan negara berkembang, namun pihak lain menyatakan sebaliknya. Dollar dan Kraay (2002, 2004) berpandangan bahwa kaum miskin di negara berkembang mendapatkan manfaat berarti dari liberalisasi dan globalisasi perdagangan, yang mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan. Ia juga berpengaruh kecil pada kesenjangan penda-patan. Ravalion (2001) dan Milanovic (2004) berpesan bahwa volume perdagangan yang makin besar mempersempit kesenjangan di antara negara yang berpendapatan tinggi

Sebelum Konferensi Tingkat Menteri ke-5 di Cancun pada September 2003, banyak pihak mengutip hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa negara berkembang akan memperoleh manfaat yang lebih besar kalau liberalisasi dilakukan di pasar domestik mereka, daripada liberali-sasi di negara-negara kaya (World Bank 2002). Namun, kajian-kajian terbaru, termasuk yang dilakukan Bank Dunia, memberikan informasi yang bertolak belakang (Cline 2004; Anderson et al. 2005; World Bank 2005). Cline (2004) menyatakan, perdagangan bebas ternyata hanya memberi manfaat ekonomi jangka panjang sebesar US$200 miliar setiap tahun bagi negara berkembang

Model Carnegie (Polaski 2006) men-dapat hasil yang berbeda pula, di mana ia memprakirakan manfaat perundingan perdagangan dalam Putaran Doha mungkin kecil. Sebagian besar negara berkembang mendapat manfaat dari liberalisasi manufaktur, sementara liberalisasi pertanian akan memberikan pengaruh yang berbeda. Argentina, Brasil, dan sebagian negara Asia Tenggara mendapat manfaat peningkatan pendapatan dari liberalisasi pertanian, sementara Cina, India, dan banyak Negara di Afrika menderita kerugian. Model ini juga menemukan bahwa secara umum, pendapatan di negara dan kawasan ter-miskin di dunia mengalami penurunan dalam berbagai skenario liberalisasi. Struktur produksi pertanian berskala kecil dan berproduktivitas rendah di banyak negara miskin menyebabkan petani mudah terpengaruh oleh produk impor yang lebih murah, sementara peningkatan ekspor yang dijanjikan liberalisasi tidak banyak berarti. ADB (2007) dalam laporannya me-nyebutkan, globalisasi akan memperlebar kesenjangan pendapatan di hampir seluruh negara di Asia.

2.4.  Dinamika Perundingan OPD dan Dampaknya bagi Pertanian Indonesia

Jauh sebelum OPD terbentuk, Indonesia telah menjadi sebuah GATT contracting party pada 24 Februari 1950, atau 4,5 tahun setelah merdeka, dan menjadi anggota OPD sejak 1995. Mukadimah OPD 1994 merupakan pengembangan mukadimah GATT 1947, yang berbunyi sebagai berikut:
“… relations (of contracting parties) in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to (1) raising standards of living, (2) ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, and (3) expanding the production of and trade in good and services…,”
(WTO 1999). Sejalan dengan mukadimah OPD,
mukadimah Perjanjian Pertanian (Agree-ment on Agriculture) dirumuskan sebagai berikut:
“… to establish a fair and market-oriented agricultural trading system... “ (WTO 1999)

Jelas bahwa OPD dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan pendapatan para anggota melalui system perdagangan pertanian yang adil dan
berorientasi pasar yang dirancang melalui perundingan. Namun, proses perundingan sampai saat ini makin menyimpang dari sasaran yang tersirat dan tersurat pada mukadimah tersebut, seperti terlihat dari beberapa persetujuan yang disepakati dan cara berlangsungnya perundingan di fo-rum OPD. Aturan-aturan yang ada saat ini lebih propasar (bersaing sempurna) dan mendesak para anggota tidak hanya meliberalisasi perdagangan barang, tetapi juga membatasi negara anggota untuk tidak menetapkan kebijakan yang tidak ramah pasar di bidang jasa, penanaman modal, dan kekayaan intelektual. Kekha-watiran ini sebenarnya telah terlihat dalam perjalanan OPD selama lima tahun pertama, yang ditandai dengan kegagalan perundingan di Seattle pada tahun 1999, terutama karena perbedaan harapan antara negara berkembang dan negara maju atas keberadaan organisasi tersebut.

Masalah itu dicoba dijembatani perundingan tahun 2001 di Doha, tetapi sampai kini perbedaan itu tetap ada. Bahkan beberapa negara berpendapat Putaran Doha tidak berbeda dengan Putaran Uruguay, yakni memperketat kewajiban yang sudah ada dan memperluas disiplin perdagangan multilateral baru ke bidang politik yang masih dan seharusnya menjadi wilayah domestik. Kegagalan perundingan di Cancun agaknya juga belum cukup sebagai pengalaman negara maju agar lebih sungguh-sungguh mempertimbangkan dampak buruk gerakan liberalisasi perdagangan di negara berkembang yang dilapangkan oleh perjanjian multilateral yang ada saat ini. Hal ini dapat dilihat mulai dari Putaran Uruguay, Pertemuan di Singapura Desember 1996, Perundingan Cancun September 2003 yang membuka jalan bagi produk pertanian negara berkembang agar mendapatkan Perlakuan Khusus dan Berbeda/PKB (Special and Differential Treatment/SDT), Pertemuan Dewan Umum di Jenewa Juli 2004, dan Perundingan Hongkong Desem-ber 2005. Sementara itu, pada Sidang Khusus Komisi Pertanian tahun 2007, Ketua membuat rancangan modalitas baru untuk semua isu pertanian. Rancangan tersebut cenderung selalu mencari kesejajaran antara fasilitas yang akan diterima negara berkembang dengan apa yang didapat negara maju, antara lain Special Product/SP  dengan  Sensitive Product, Special Safe-guard Mechanism/SSM dengan  Special Safeguard.

PKB ( Perlakuan Khusus dan Berbeda ) untuk negara berkembang sangat minim dan seakan cukup dinyatakan melalui rumus angka ajaib semata, sekitar 50-67% dari perlakuan apa pun yang menyangkut waktu (besaran tarif) yang dialami negara maju  (Hutabarat 2007). Padahal pendapatan per kapita, jumlah petani, dan tingkat kemajuan ekonomi di negara berkembang tidaklah 50% lebih rendah atau 67% lebih lambat daripada di negara maju.  Wajarlah apabila Negara berkembang mendapatkan PKB yang lebih luas di sektor pertanian, karena sector tersebut masih menjadi motor penggerak pembangunan mereka. Ini membutuhkan teknologi dan inovasi teknologi bukanlah fenomena pasar (Nicholson 1988).

2.5.  Reinkarnasi Perusahaan Swasta Besar ala VOC: Akankah Sejarah Berulang Kembali..?

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempercepat gerakan globalisasi seperti saat ini, meskipun sifat gelombangnya sama dengan yang terjadi sebelum Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, kecuali dari segi jangkauan, kecepatan, kemudahan, dan kedalamannya (Friedman 2000). Semua ini telah men-dorong tumbuh-suburnya perusahaan lintas negara yang bersifat monopoli dan terpadu secara vertikal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekuatan pasar di bidang produksi, pengolahan, dan penyebaran produk pertanian serta aturan perdagangan dan penanaman modal global saling mempengaruhi (Murphy 2006).  Dari kinerja OPD terlihat bahwa Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa adalah pemain yang paling berpengaruh saat ini (Sullivan  et al. 2003). Ternyata, perusahaan lintas negara atau perusahaan multibangsa memiliki akses langsung kepada ketiga kekuatan ini, khususnya melalui kelompok-kelompok lobi perusahaan yang berpengaruh. Perusahaan besar ini tumbuh subur di bawah sistem perdagangan bebas, sementara petani di negara berkembang bahkan di beberapa negara maju makin tersisih.  Hal ini dimungkinkan oleh wewenang OPD yang baru di sektor pertanian, investasi, dan hak kekayaan intelektual, sehingga jalan bagi korporasi global dalam pengu-asaan benih, pangan, usahatani, dan keragaman hayati makin lebar (Barker dan Mander 1999). Sebagai contoh, di Amerika Serikat beberapa perusahaan agribisnis lintas negara menguasai semua produksi, angkutan, dan pengolahan komoditas pertanian (Murphy 2002; Ritchie  et al. 2003). Di tingkat eceran, penyebaran dan penjualan produk pangan terpusat pada rantai tata niaga perusahaan yang sangat besar, tetapi dalam jumlah sedikit. Kroger, Albertsons, Wal-Mart, Safeway, dan Ahold menguasai sekitar 40% penjualan pangan eceran di Amerika Serikat (Cohrane 2000).
Di Asia Tenggara, perusahaan multi-bangsa telah lama berjalan dan akan tetap berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Sebagian bahkan telah menganekaragamkan bisnis mereka ke bidang lain. Keikutsertaan perusahaan multibangsa diperlukan untuk mendorong
prakarsa setempat, perbaikan kinerja usaha tani, dan kesejahteraan penduduk yang terlibat dalam agribisnis dengan menjaga keseimbangan perolehan pangsa harga untuk semua pihak (Hutabarat 2005). Namun, dalam prakteknya, pangsa ini sulit ditetapkan dan kalaupun dapat, mekanisme pengawasannya berat. Harga yang diterima petani kopi yang sangat rendah adalah satu ciri rantai pemasaran kopi di Indonesia yang belum efisien. Faktanya, perusahaan yang menguasai pasar kopi biji dan atau pasar ecerannya adalah perusahaan multi bangsa yang jumlahnya sedikit (Huta-barat et al. 2003; Hutabarat 2004).

Hal senada terlihat pada perdagangan benih jagung (Sayaka 2006) dan industry pakan di Indonesia pada tahun 1990-an. Industri yang terpadu secara horizontal dan spasial menjadi pabrik skala besar (Hutabarat  et al.  1993, Hutabarat dan Yusdja 1995). Industri pakan juga meng-alami proses perpaduan vertikal, yakni beberapa perusahaan pakan masuk keindustri hilirnya, yaitu usaha produksi peternakan seperti bibit ayam, ayam petelur, dan ayam pedaging. Demikian pula produk
ekspor pertanian primer. Jurus baru pe-masaran “mekanisme rantai pasok atau nilai“ (supply or value chain manage-ment) merupakan hasil rancangan perusahaan kuat. Mekanisme ini akan menempatkan penghasil produk primer pada simpul terbawah rantai pasok dengan imbalan usaha yang rendah

III. DINAMIKA PERDAGANGAN PRODUK DAN SEKTOR PERTANIAN INDONESIA

3.1.  Monopoli Perdagangan Pertanian di Era Pra-Milenia

Perdagangan komoditas pertanian Indonesia telah terjadi jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, melalui pedagang dari Cina, India, dan Arab (Reid 1984). Pada abad ke-14, komoditas bernilai tinggi seperti lada dan cengkih yang ada di bumi Nusantara mengundang perhatian pedagang Eropa datang ke Asia Tenggara, kemudian mengembangkan tanaman perdagangan seperti kopi dan tembakau (Booth 1992). Pada abad ke-17 dan 18, perdagangan di
seluruh kepulauan dikuasai oleh pedagang Eropa, terutama Belanda dengan perusahaannya bernama VOC, melalui kekuatan monopoli dan monopsoninya dalam perdagangan produk pertanian di pasar internasional. Pajak dan devisa komoditas per-tanian digunakan untuk mengisi kas pemerintah atau menutup defisit anggaran (Mackie 1992; Mubyarto 2002) dan menjadi sarana pembangunan pemerintah kolonial. Untuk memantapkan penerimaan ini, pemerintah kolonial memperluas areal pertanian, memperkenalkan dan mengembangkan beberapa komoditas baru seperti tebu dan karet di Jawa dan Sumatera Utara, bahkan secara paksa (cultuurstelsel), dan hasilnya diekspor ke pasar internasional. Akibatnya, ekonomi Indonesia terpadu secara sempurna dalam perdagangan internasional.

Sistem ini dapat melipatgandakan ekspor komoditas pertanian, tetapi ekonomi pertanian tradisional tidak berkembang karena kelangkaan investasi (van der Eng 1993). Di sisi lain, tanam paksa memberikan pengalaman bercocok tanam bagi petani, tetapi produksi mereka diserahkan
kepada perusahaan pemerintah kolonial. Perkebunan komoditas ekspor makin berkembang, seperti cengkih di Maluku; lada di Bangka, Belitung, dan Lampung; kayu manis di Sumatera Barat; vanili di Bali dan Lampung; tembakau dan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur; kakao di Sulawesi
Selatan dan Tenggara; karet di Sumatera dan Kalimantan; dan kopra di Sulawesi Utara.

Pada akhir tahun 1930-an, perkebunan rakyat mendominasi produksi kopi, kopra rempah-rempah, dan karet (Booth 1992). Melewati masa penjajahan dan menjelang era pembangunan ekonomi, kelompok produk ekspor bernilai tinggi beralih ke kelompok produk minyak bumi, mineral, dan kayu. Namun, kelompok ini lebih banyak memberikan penerimaan bagi Negara daripada membuka lapangan kerja. Ekspor hasil pertanian tradisional seperti karet dan kopra memberikan penerimaan tidak merata atau bergejolak, padahal kedua komoditas ini penting dalam membuka kesempatan kerja dan pendapatan (Dapice 1987).

3.2.  Penurunan Sumbangan dan Perolehan Devisa Perdagangan Pertanian di Era Milenia

Saat ini peran pertanian dalam pereko-nomian nasional makin surut, seperti ditunjukkan oleh sumbangannya terhadap PDB nasional dari 15,6% pada tahun 2001 menjadi 14,5% pada tahun 2005. Dalam perolehan devisa, sumbangannya terhadap nilai ekspor barang total nasional juga sangat rendah dan makin menurun sejak OPD terbentuk, dari 9,0% pada periode 1987-1992 menjadi 7,8% pada periode 1995-2000. Sementara itu, pengeluaran devisa untuk impor produk pertanian pada peri-ode yang sama makin meningkat. Dalam periode 1987-1992, nilai impor pertanian hanya 8,7% dari nilai impor barang nasional. Angka ini meningkat menjadi 13,4% dalam periode 1995-2000 (Hutabarat 2007).

Ada dua catatan penting yang dapat disimpulkan.  Pertama, perdagangan ekspor produk pertanian Indonesia pada hakikatnya bergejolak, tidak sama untuk setiap produk, tetapi keunggulan produk pertanian selalu dapat muncul kembali karena sifatnya yang dapat terbarukan. Kedua, pengandalan devisa ekspor dari produk-produk yang berasal dari bahan baku tambang atau bahan mentah akan membawa Indonesia pada kerawanan karena sumber daya ini tidak dapat terbarukan dan cenderung mendorong bangsa Indonesia menjadi bangsa yang malas dan tidak inovatif. Ini seharusnya menjadi pendorong agar pengembangan pertanian mendapat perhatian yang lebih besar.

Enam kelompok (2-digit HS) produk pertanian ekspor Indonesia yang member sumbangan paling menonjol adalah kopi, teh, rempah-rempah, lemak dan minyak hewani dan nabati, sayuran yang dapat di-makan, tembakau, coklat, dan olahan sayuran. Nilai ekspor produk tersebut  cenderung meningkat pada periode 1987-1992 dibanding periode 1995-2000. Di pihak lain, beberapa produk pertanian makin menguras devisa, seperti serealia, kapas, biji-bijian, sisa olahan dan limbah industry makanan, lemak dan minyak hewani dan nabati, gula, dan gula rafinasi.

Dapat disimpulkan bahwa jenis produk pertanian ekspor utama Indonesia tidak berubah antara sebelum dan sesudah OPD terbentuk pada tahun 1994. Ekspor sayuran dan umbi-umbian serta kopi, teh dan olahannya meningkat lebih dari dua kali lipat dari masa sebelum OPD lahir. Namun, ekspor tersebut lebih banyak dalam bentuk bahan baku atau setengah jadi. Impor gula, serealia, limbah industri pangan, dan kapas meningkat lebih dari dua kali lipat dari masa sebelum OPD. Ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional makin rapuh.

3.3.  Sistem Ekonomi Indonesia di Tengah Arus Utama Model Ekonomi Masa Kini

Dinamika sistem ekonomi Indonesia mempunyai pola yang khas mengikuti pendulum kekuatan politik. Namun, pengamatan terhadap kegiatan ekonomi nasio-nal menunjukkan, perkembangan dan kebijakannya masih mengabaikan unsure budaya, sosial, dan tata nilai masyarakat. Di masa sistem ekonomi terpimpin, campur tangan pemerintah sangat kuat, sementara keikutsertaan pihak swasta lemah. Di masa Orde Baru, peran swasta, kapitalis semu atau ersatz capitalism  makin berkembang, tetapi peran pemerintah masih cukup kuat. Di era reformasi, peran swasta di satu sisi makin kokoh dan peran pemerintah di sisi lain makin lemah atas anjuran DMI, BD, dan OPD sejak krisis moneter pada 1997, melalui pedoman kebijakan Konsensus Washington

Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan komoditas Indonesia hingga tahun 1997 memang menggembirakan, yang merupakan dampak penerapan ekonomi pasar bebas, sehingga Indonesia dijuluki macan Asia. Keruntuhan Uni Soviet dan Eropa Timur pada awal 1990-an makin mendorong sistem ekonomi Indonesia mengarah pada kapitalisme Barat. Namun, Mubyarto (2002) meragukan capaian ini sebagai dampak persaingan bebas yang diidamkan ilmu ekonomi neoklasik, karena semua ini ternyata lenyap pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi dan kerusuhan sosial pada tahun 1998. Krisis ini terjadi karena unsur kelembagaan dan tata nilai masyarakat kurang diperhatikan dalam mengelola perekonomian, sebagaimana dikatakan oleh North (1993), padahal North (1993), Aziz (1997), dan Nitisastro dalam Anwar et al. (1997) telah mengungkapkan peran kelembagaan sangat penting.

Akibat pengabaian faktor sosial, budaya, dan kelembagaan oleh Konsensus Washington, beberapa ahli ekonomi nasional dan dunia berpendapat bahwa kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia menyebabkan ekonomi sulit pulih dari krisis sampai saat ini (Stiglitz 2002). Stiglitz (2002, 2006) mencatat, resep kebijakan DMI dan BD yang berperan besar dalam perekonomian banyak negara berkembang dan demi globalisasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak selalu tepat. Konsensus Washington lemah karena kurang memperhatikan unsur pemerataan, lapangan kerja, dan persaingan untuk menjalankan refor-masi ekonomi atau dalam cara melaksanakan privatisasi. Konsensus Washington juga terlalu menekankan kepada peningkatan PDB, bukan pada hal-hal yang menyangkut baku hidup masyarakat dan tidak menaruh perhatian pada keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan. Djojohadikusumo (1992) telah mengingatkan, kelemahan pembangunan nasional yang selama ini belum teratasi terletak pada masalah kesempatan kerja produktif dan pengangguran, ketidak seimbangan antardaerah, ketimpangan pada perimbangan kekuatan ekonomi di antara golongan masyarakat dalam proses pro-duksi dan penyebaran barang dan jasa. Sebagai contoh, dalam kondisi tingkat pengangguran masih tinggi, efisiensi ekonomi bukan pertimbangan utama (Reith-muller et al. 1999).
3.4.  Perbedaan Hakikat antara Ekonomi Negara Maju dan Ekonomi Indonesia

Sistem perekonomian nasional berbeda dengan sistem ekonomi yang dicirikan oleh ajaran ekonomi arus utama. Perbedaan ini dapat dilihat dalam empat indicator pokok sebagai berikut.
1.    Jumlah penduduk miskin Indonesia sangat besar
Dengan definisi global ambang batas garis kemiskinan pendapatan US$2/kapita/hari, sekitar 66% penduduk Indonesia termasuk miskin (Cline 2004). Di negara-negara industri, jumlah orang berpenghasilan di bawah US$2/hari (termasuk penganggur dan gelandangan) relative sedikit dibanding 840 juta penduduknya
2.    Jumlah penduduk yang bekerja di pertanian sangat besar.
Percaturan global perundingan perdagangan saat ini menggambarkan kenyataan hakiki struktur ekonomi dan mata pencaharian penduduk dunia yang berbeda. Di negara kaya, banyak penduduk yang bekerja di sektor industri jasa atau manufaktur, dan sedikit yang mencari kehidupan di sektor perta-nian, di bawah 6%. Di Perancis, kurang dari 3% penduduknya terlibat di usaha tani, di Amerika Serikat kurang dari 2%, di Spanyol 6%, Italia 5%, Jepang 3%, dan Jerman 2% (Polaski 2005). Di Indonesia, 46% angkatan kerja adalah petani dan buruh tani miskin.
3.    Perbedaan tata nilai dan kelembagaanmasyarakat.
Indonesia tergolong ke dalam kelompok besar negara berkembang, yangmempunyai ciri pertanian antara lain subsisten, pangsa terhadap PDB tinggi,pangsa penduduk yang terlibat pertanian tinggi, pengeluaran konsumsi pangan ting-gi, produktivitas rendah, luas pemilikan lahan usaha tani terbatas, prasarana per-tanian sangat terbatas, orientasi pasar lemah, dan penerapan ilmu pengetahuanrendah. Hal ini telah dicatat oleh literature dan sejarah di mana Indonesia dan Negara berkembang sebagai ekonomi berwajah dua (dual economy) (Boeke 1953; Higgins1955; Lewis 1970 dan 1976 dalam van der Eng 1993). Di satu sisi, perusahaan besar,mutakhir, dan padat modal bergerak di bidang perkebunan dengan produk tujuanekspor. Di sisi lain, perusahaan kecil dan padat karya bergerak untuk kebutuhan bahan pangan domestik.
4.    Perbedaan di bidang perdagangan pertanian.
Tarif pertanian Indonesia lebih tinggi dari negara maju, tetapi bagi produk olahan pertanian, misalnya pada produk tembakau, konsentrat susu, dan keju, tingkat perlindungan pasar lebih rendah dari Eropa Barat dan Jepang. Frekuensi puncak tarif produk pertanian yang umum ditemukan terjadi pada daging sapi dan coklat (UNCTAD 2003). Bahkan produk-produk ini juga dilindungi oleh  Special Agricultural Safeguard dan mendapat subsidi di negara maju. Ini tidak atau jarang dilakukan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya.

IV. STRATEGI MENGATASI JEBAKAN GLOBALISASI DAN LIBERALISASI PERTANIAN

4.1.  Domestifikasi Pembangunan Ekonomi dan Pertanian

Masalah pembangunan ekonomi dan pertanian domestik, seperti keterbatasan lahan dan perlindungan terhadap petani, harus diselesaikan melalui kemampuan menginternalisasi masalah tersebut dalam kerangka sosial dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, keadaan dan keterbatasan sumber daya nasional perlu betul-betul dipahami dan jawaban atas masalah yang dihadapi harus dicari melalui kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. Untuk mendapatkan saran-saran dan rekomendasi kebijakan ekonomi dan pembangunan,sudah selayaknya Indonesia mempunyai perangkat analisis dan model ekonomi yang lebih sesuai agar tidak selalu bergantung pada anjuran kebijakan dari para ahli yang kurang memahami tata nilai, pranata sosial, dan budaya masyarakat. Pandangan kritis terhadap anjuran kebijakan lembaga internasional pada saat
Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, seperti Konsensus Washington, seharusnya menjadi pendorong dalam membangun model analisis tandingan. Untuk itu, para ahli nasional perlu membangun model analisis ekonomi sendiri. Para ahli ekonomi dan pertanian yang merancang kebijakan atau program ko-moditas perlu berhati-hati dan menyadari bahwa pendekatan yang berbeda akan memberikan hasil analisis yang berbeda dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula. Mereka juga harus menyadari kondisi atau iklim usaha atau pasar yang dihadapi atau yang dirasakan petani.

Untuk mengembangkan perekonomian pertanian, masyarakat hendaknya dididik dan disadarkan secara sungguh-sungguh untuk mencintai produk pertanian dalam negeri dan mengembangkannya agar tidak kalah bersaing dengan produk impor. Perlu diyakini, produk pertanian lokal mempunyai citra dan cita rasa yang khas dan lebih unggul dari produk pertanian impor. Indonesia perlu pula memiliki program yang jelas untuk mengubah kebiasaan mengekspor produk pertanian dalam bentuk bahan baku primer. Selama puluhan tahun, manfaat yang diperoleh petani dari ekspor bahan mentah tidak berarti. Sudah saatnya Indonesia mengembangkan produk agroindustri setengah jadi atau olahan. Diversifikasi pengolahan tahap pertama untuk meningkatkan nilai tambah pro-duk primer akan memberikan masa depan yang positif bagi produk pangan, perke-bunan, ternak, dan minyak nabati. Pengalaman pada tahun 1970-an membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam pembangunan tetap diperlukan. Tidak bijaksana apabila mengandalkan kinerja ekonomi dalam genggaman mekanisme pasar semata. Namun, campur tangan pemerintah itu tidak menciptakan pelaku-pelaku pemburu rente. Untuk itu, diperlukan undang-undang, peraturan dan pelaksanaan hukum dan keterlibatan masyarakat untuk mengawasinya.

4.2.Investasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembangunan Pertanian

Evenson et al. (1997) dan Hutabarat et al. (2001) mencatat bahwa investasi penelitian di Indonesia memberikan sumbangan yang sama besarnya dengan pengaruh masukan mutakhir seperti traktor, infrastruktur irigasi, dan pupuk, sedangkan masukan tradisional seperti lahan dan tenaga kerja memberikan sumbangan yang kecil. Investasi publik pada irigasi dan jalan pedesaan, perbaikan pengelolaan irigasi, peningkatan investasi penelitian dan penyuluhan yang efektif, perbaikan sistem penyaluran kredit, dan langkah-langkah inovatif pemasaran yang melibatkan petani atau kelompok tani diperlukan untuk mendukung penganeka-ragaman pertanian nasional. Upaya penganekaragaman produksi diperlukan di bi-dang perkebunan, perunggasan, hortikultura, dan biofarmaka. Cakupan pengembangan industri pengolahan sangat luas dan ini akan membantu peningkatan pendapatan petani jika mereka dilibatkan.

4.3.Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Energi Secara Bijaksana

Cadangan sumber daya energi yang masih ada sebaiknya dikelola sendiri dan dimanfaatkan untuk memakmurkan rakyat. Indonesia sejak 20 tahun lalu seharusnya tidak lagi mengandalkan devisa dari ekspor sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti ladang minyak dan gas alam, melainkan dari produk-produk yang dapat terbarukan. Kebutuhan pengembangan energi tandingan dari bahan terbarukan, seperti jarak pagar, jagung, kapuk atau randu, ubi kayu, kelapa, kelapa sawit, buah nyamplung, sagu, dan bahkan limbah ter-nak untuk pengurangan gas rumah kaca juga diperlukan. Di sini peran pertanian sangat diperlukan, karena tanaman dapat mengubah tenaga surya menjadi sumber daya energi melalui produksi pertanian, dan pada saat yang sama memelihara ling-kungan dan menciptakan lapangan kerja. Untuk itu diperlukan upaya sungguh-sungguh dalam mewujudkannya Keikutsertaan petani sebagai pelaku pembangunan pertanian seyogianya menjadi perhatian utama. Pemborosan sumber daya energi tidak terbarukan yang terjadi saat ini akan dibayar mahal oleh generasi
penerus. Karena itu, pada setiap tingkat administrasi pemerintahan harus dibangun kesadaran akan keterbatasan lingkungan dan dampak buruk pola konsumsi sumber daya alam tidak terbarukan.

4.4.  Revitalisasi Negosiasi Perdagangan Internasional

Politik bebas aktif dapat dimaknai sebagai keikutsertaan dalam berbagai forum multilateral, internasional, regional, dan bilateral pada berbagai bidang ekonomi, politik, perdagangan, dan lain-lain. Namun, negosiasi perdagangan yang diikuti Indo-nesia sebaiknya tidak semata-mata demi kelancaran dan kepentingan perdagangan itu sendiri. Perlu disadari, perdagangan adalah alat untuk mencapai tujuan negara, antara lain kemakmuran, kemantapan dan kedaulatan ekonomi, kebebasan, dan perbaikan mutu kehidupan masyarakat. Indonesia patut turut serta membangun perundingan yang konstruktif, positif, dan luwes. Bersama dengan kelompoknya, Indonesia harus berusaha membawa kesepakatan perdagangan pertanian dunia tidak menyimpang dari sasaran yang hendak dicapai, dan tidak bias ke orientasi pasar bebas semata dan melupakan pertimbangan keadilan dalam perdagangan.
“A Global Human Society … characterized by Islands of Wealth, surrounded by a Sea of Poverty is unsustainable” (Mbeki 2002). Pada forum  AFTA bersama Negara tetangga di Asia Tenggara dan Cina dalam Indonesia-Cina FTA, Indonesia harus aktif dan mengkaji secara cermat dan belajar melihat segala kemungkinan dampaknya terhadap sektor pertanian dan pengemban kepentingan di sektor ini. Pada forum multilateral OPD, Indonesia melalui koalisi-nya dengan Kelompok 33, Kelompok 20, dan lain-lain harus tetap mengusung kepentingan petani di negara berkembang yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan fasilitas SP dan SSM. Semua ini memerlukan negosiasi yang sangat intensif, baik ke dalam maupun ke luar kelompok. Penetapan posisi kesepakatan perdagangan dalam sistem multilateral atau kawasan seyogianya mempertimbangkan secara masak-masak peluang Indonesia dan negara berkembang lainnya dalam mengejar nilai-nilai sosial dan membangun diri sendiri.

V.  KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Indonesia saat ini berada dalam arus perdagangan bebas yang diciptakan berbagai perangkat kelembagaan publik internasional yang menjunjung dan menganjurkan pembatasan peran pemerintah, deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi secara cepat. Hal ini telah menciptakan keadaan yang tidak menguntungkan bagi sektor pertanian dan perekonomian Indonesia, antara lain melalui: (1) dampak negatifnya terhadap kesejahteraan masyarakat yang masih di-terpa krisis moneter, (2) bergesernya sasaran-sasaran yang tersirat dari mukadimah OPD dan Perjanjian Pertanian, dan (3) kebangkitan kekuatan monopoli, oligopoly dan keterpaduan vertikal perusahaan lintas negara dan multibangsa yang makin subur dan kokoh di berbagai bidang, antara lain produksi benih, pemasaran, distribusi, dan pasar eceran pertanian. “GATT (WTO) seeks to tie all the dogs’ tails together so tightly that the international knot will wag the separate national dogs,” (Daly 1994).

Badai globalisasi dan liberalisasi tidak nmungkin berlalu, bahkan cakupannya akan makin luas, apalagi di era milenia yang sedang dilalui saat ini. Untuk itu, diusulkan beberapa kebijakan agar pertanian nasional tidak terjebak di dalamnya melalui: (1) domestifikasi pembangunan ekonomi dan pertanian; (2) investasi sarana dan prasarana pendukung pembangunan pertanian; (3) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya energi secara bijaksana; dan (4) revi-talisasi negosiasi perdagangan internasional.  Agar globalisasi dan liberalisasi menguntungkan, dibutuhkan kesiapan dan kesigapan semua pengemban kepentingan di bidang pertanian dan ekonomi untuk menciptakan keseimbangan kekuatan pasar dan campur tangan pemerintah, kekuatan ekonomi dan politik di setiap tingkatan: internasional, nasional, dan lokal.

Proses reformasi yang sedang berjalan sementara ini telah memberikan banyak hal positif di bidang kebebasan berpendapat dan berpolitik. Namun, hal ini perlu dilihat dan dinilai kembali manfaatnya terhadap kesejahteraan warga masyarakat dan keseimbangan kekuatan pasar dan Negara dengan mempertimbangkan perkembangan dan kecenderungan global yang baru secara terus-menerus. Tantangan pembangunan pertanian dan ekonomi nasional tidak akan terselesaikan dengan mengandalkan bantuan material dan financial dari luar. Indonesia harus melakukannya secara bersungguh-sungguh, sejak hari ini, dengan memanfaatkan semua potensi yang dimiliki

VI. PENUTUP

Bekal yang paling baik untuk mengarungi samudera ketidakpastian global yang dihadapi kini dan seterusnya adalah meng-utamakan produksi domestik untuk pasar domestik, dengan penyeimbangan perda-gangan internasional sebagai pilihan ke-dua, tetapi bukan untuk mengatur pasar domestik.
“The domestic economy should be the dog and international trade its tail” (Daly 1994).
Untuk itu penulis ingin menyampaikan sebuah pesan yang disampaikan Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam pidato pada sidang tahunan dan pameran perdagangan di Denver, Colorado, 8 February 2002 yang kiranya relevan juga bagi kita:
This nation has got to eat. It’s in our national security interests that we be able to feed ourselves. Thank goodness, we don’t have to rely on somebody else’s meat to make sure our people are healthy and well fed.”

Sebagai ucapan terakhir izinkanlah penulis mengutip sepotong sajak  Taufik Ismail yang berjudul “Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami Masuk Masa Penjajahan Baru, kata Si Toni” sebagai berikut:
“…Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia  Kita gadaikan sikap bersahaja kita  Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta  Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita  Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia…”

DAFTAR PUSTAKA

Achterbosch, T.J., B. Hutabarat, N. Sya-faat, dan F.W van  Tongeren. 2004. Indonesian interests in the agricultural negotiations under the Doha Develop-ment Agenda: An analysis of the “July
2004 Framework”. Jurnal Agro Eko-nomi 22 (2): 97-118.
ADB (Asian Development Bank). 2007. Inequality in Asia: Key indicators 2007 special chapter highlights.  Asian Development Bank, Mandaluyong City, Metro Manila, Philippines. http:/ /www.adb.org/.
Anderson, K., W. Martin, and D. van der Mensbrugghe. 2005. Market and wel-fare implications of Doha Reform Scenarios.  In K.  Anderson and  W. Martin (Eds.).  Agricultural  Trade Reform and the Doha Development Agenda. World  Bank,  Washington, D.C.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.