GATRA
TANAH PERTANIAN AKRAB
LINGKUNGAN
DALAM MENYONGSONG
PERTANIAN
MASA DEPAN
PENDAHULUAN
Tantangan yang dihadapi kebanyakan negara
berkembang dalam meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan untuk
mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang makin meningkat (UNCED, 1992).
Hal ini merupakan dilema, disatu pihak
kita masih dituntut untuk mempertahankan swasembada pangan dengan menerapkan
“prinsip pertanian konvensional” yang ketergantungannya terhadap masukan dari
luar usahatani cukup tinggi (high external input), tetapi di pihak lain kita
dituntut untuk mengembangkan “pertanian alternatif” yang akrab lingkungan.
Seperti dikemukakan oleh Gever et
al, (1991) bahwa tangtangan yang
dihadapi pertanian abad 21 adalah pertanian yang berbasis energi matahari dan
kegiatan biologi untuk menggantikan
pertanian berbasis petrokimia. Ketergantungan kita yang cukup tinggi terhadap
masukan yang berasal dari sumberdaya tak terbarukan, seperti fosfat dan minyak
tidak dapat lebih lama lagi.
Pembangunan di semua sektor termasuk pertanian
tidak terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi (iptek). Sumberdaya alarn
yang diekploitasi secara berlebihan menyebabkan dalam waktu relatif singkat
sumberdaya tersebut akan hilang dan alam itu sendiri menjadi tidak bersahabat terhadap
kehidupan manusia. Manusia di seluruh dunia mulai membicarakan masalah
pembangunan berkelanjutan atau
pembangunan berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan lebih menitik beratkan
pada dua gatra utama: (1) pembangunan harus
bermitra dengan alam, dan (2) pembangunan bukan hanya
untuk kesejahteraan manusia masa kini tetapi juga untuk generasi mendatang; generasi yang akan datang perlu diberikan
warisan sumberdaya alam yang cukup untuk menunjang kesejahteraan mereka.
KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN
Ada beberapa takrif (definition) yang
berkembang pada saat ini tentang “Pertanian berkelanjutan”. Menurut World
Conservation Strategy 1980 pembangunan berkelanjutan ditakrifkan sebagai
“pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan
kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Anon., 1990).
Menurut TAC/CGIAR (1988),
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan
dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan
manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta
konservasi sumberdaya alam. Pertanian berwawasan lingkungan selalu
memperhatikan nasabah tanah, air, manusia, hewan/ternak, makanan, pendapatan
dan kesehatan. Sedang tujuan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah
mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah; meningkatkan dan
mempertahankan basil pada aras yang optimal; mempertahankan dan meningkatkan
keanekaragaman hayati dan ekosistem; dan yang lebih penting untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan makhluk hidup lainnya.
Menurut Gips (1986), sistem pertanian
berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria,
antara lain:
1. Aman menurut wawasan lingkungan, berarti
kualitas sumberdaya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem
dipertahankan/mulai dari kehidupan manusia, tanaman dan hewan sampai organisme
tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai apabila tanah terkelola dengan
baik, kesehatan tanah dan tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia
maupun hewan ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya kehilangan hara,
biomassa dan energi, dan menghindarkan terjadinya polusi. Menitikberatkan pada
pemanfaatan sumberdaya terbarukan.
2. Menguntungkan secara ekonomi,berarti petani
dapat menghasilkan sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri/pendapatan, dan cukup memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan
biaya produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur
langsung berdasarkan basil usahataninya, tetapi juga berdasarkan fungsi
kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap
lingkungan.
3. Adil menurut pertimbangan
sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar sedemikian rupa sehingga
kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi, demikian juga setiap
petani mempunyai kesempatan yang sama dalam memanfaatkan lahan, memperoleh
modal cukup, bantuan teknik dan memasarkan hasil. Semua orang mempunyai
kesempatan yang sama berpartisipasi dalam menentukan kebijkan, baik di lapangan
maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
4. Manusiasi terhadap semua
bentuk kehidupan, berarti tanggap
terhadap semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) prinsip dasar
semua bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar
makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling
membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu dipertahankan
dan dilestarikan.
5. Dapat dengan mudah diadaptasi, berarti masyarakat pedesaan/petani
mampu dalam menyesuaikan dengan perubahan kondisi usahatani: pertambahan
penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan
dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan,tetapi termasuk juga inovasi
sosial dan budaya
Konservasi merupakan faktor yang penting dalam
pertanian berwawasan lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti
sumberdaya tersebut harus dapat difungsikan secara malar (continous). Sekarang
kita sudah mulai sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan
kemampuan budi daya manusia untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang
perlu dicatat bahwa ketersediaan sumberdaya adalah terbatas..
Petani lebih tertarik pada pendapatan yang
tinggi dari hasil usahataninya; pemerintah kemungkinan memberikan prioritas
pada kecukupan pangan dengan harga yang terjangkau penduduk pedesaan. Pemilihan
prioritas pengembangan harus dilakukan secara terus menerus untuk meniadakan
perbedaan pandangan dan kepentingan. Dengan demikian, diperlukan kelembagaan
yang dapat berfungsi baik dalam menyusun dan menghasilkan kebijakan yang baik
dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan, baik dari tingkat desa sampai
global.
Pembangunan pertanian pada umumnya dan
khususnya pertanian pangan banyak menghadapi kendala berupa:
(a) Ketersediaan
lahan potensial untuk pertanian terutama di luar P. Jawa semakin terbatas
karena sudah semakin banyak yan telah dibuka dan dimanfaatkan untuk pertanian
maupun kepentingan yang lain;
(b) Untuk
membuka dan mengembangkan lahan yang berpotensi lebih rendah (marginal) dan
padat masalah diperlukan biaya yang lebih tinggi yang tentu saja akan membebani
lebih berat anggaran belanja negara, disamping akan memberikan tekanan lebih
berat pada sumberdaya alam dan lingkungan;
(c) Persaingan kepentingan dengan sektor lain
terus berlangsung dan menunjukkan kecenderungan meningkat, prospek pertanian
pada umumnya dan prospek petani pada khususnya sangatlah suram;
(d) Pengalihan fungsi lahan pertanian subur ke
lahan bukan pertanian meningkat secara dramatis terutama di Jawa, untuk
pengembangan kota, pemukiman, kawasan pariwisata, fasilitas umum, jaringan
jalan dan jaringan irigasi; Keppres Nomor 33 tahun 1990 ternyata kurang
berperanan dalam mencegah pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan bukan
pertanian;
(e) Luas
garapan terlalu sempit. Walaupun jumlah pendapatannya tinggi, tetapi tidak
mencukupi untuk hidup layak petani dan keluarganya, apalagi untuk meningkatkan
masukan atau mengadakan investasi dalam usahataninya;
(f) Teknologi
konservasi sumberdaya tanah tidak dapat diterapkan secara baik, seperti telah
dilaporkan oleh Fujisaka (1991), disebabkan karena luas pemilikan lahan terlalu
sempit, tekanan penduduk yang besar, kondisi biofisik lahan tidak seragam,
biaya investasi konservasi yang mahal;
(g) Dilema irigasi konvensional sebagai andalan
pengembangan lahan pertanian tanaman pangan dan lahan produksi banyak yang
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, disamping sudah yang jauh berkurang
karena ditempati industri, permukiman dan infrastruktur lainnya;
(h) Kerusakan lahan pertanian makin meningkat,
terjadi baik akibat erosi, pemakaian pupuk kimia dan obat kimia secara
berlebihan, tidak ada pendauran ulang limbah pertanian;
(i) Terjadi
penyempitan pemilikan lahan akibat luas lahan terbatas, penduduk terus
bertambah, di lain pihak sektor pertanian harus menyediakan lapangan kerja
terbesar;
(j) Istilah swasembada pangan yang diartikan
terlalu harfiah, sehingga membatasi peluang dan kesempatan petani dalam memilih
komoditas yang lebih menguntungkan; kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan
undang-undang budidaya tanaman No 12 tahun 1992.
(k) Teknologi produksi yang dipaketkan dari atas
menghambat penerapan konsep rasionalisasi pembangunan pertanian yang antara
lain berisi wawasan pewilayahan agroekosistem dan LEISA (low external
sustainable agriculture);
(l) Pembangunan
industri pada umumnya tidak mendukung pembangunan pertanian, bahkan justru
sering menyaingi pembangunan pertanian.
Kalau diperhatikan lebih mendalam bahwa
keberhasilan pembangunan pertanian, terutama sektor tanaman pangan lebih banyak
terjadi di lahan bawahan (sawah) yang terpusat di Jawa dan infrastruktur mendukung.
Keberhasilan ini tercapai melalui:
(a) penggunaan
bibit unggul secara meluas,
(b) penggunaan
pupuk kimia terutama N dengan dosis tinggi secara meluas, dan pemberantasan
hama penyakit dengan obat kimia,
(c) pembangunan fasilitas irigasi secara
besar-besaran, perluasan lahan sawah, perluasan intensifikasi padi sawah secara
monokultur,
(d) mengatur
produksi secara sentral dengan paket teknologi masukan tinggi,
(e) pemberian
subsidi kepada sarana produksi dan kredit usahatani dalam jumlah besar,
(f) penyediaan
anggaran penelitian, pengembangan dan pembangunanlahan sawah yang cukup besar.
Pembangunan pertanian dinilai telah berhasil
meningkatkan produksi pangan, tetapi di pihak lain telah terjadi kemenosotan
sumberdaya alam, degradasi lingkungan dan kemunduran rasa solidaritas
masyarakat pedesaan. Dampak negatif pembangunan pertanian telah mendorong kita
untuk lebih memperhatikan usaha-usaha mennyelamatkan sumberdaya dari kerusakan
yang lebih jauh.
PENERAPAN DAN PILIHAN TEKNOLOGI
- Teknologi Produksi Pertanian
Meningkatnya keperdulian masyarakat dunia akan
kelestanian lingkungan, terutama oleh negara-negara maju yang semula teknologi
produksinya dicirikan oleh budidaya yang mengandalkan masukan teknologi
benenengi tinggi, ternyata beberapa tahun terakhir telah berupaya merakit dan
mengembangkan budidaya pertanian yang menggunakan pendekatan agroekosistem. Secara ringkas agroekosistem
ialah ekosistem yang diubah sebagian oleh orang untuk menghasilkan pangan,
serat dan hasil pertanian lainnya (Ghildyal, 1984). Upaya peningkatan
produktivitas akhirnya akan dihadapkan kepada masalah membatasi kerusakan
lingkungan dan sumberdaya.
Produksi tanaman pangan telah
meningkat secara dramatis, setelah diketemukannya varietas unggul yang berproduksi
tinggi. Akan tetapi, varietas unggul tersebut sangat bergantung pada masukan
berenengi tinggi (high external input), dalam bentuk pupuk kimia dan pestisida
sintetis untuk memberantas hama dan penyakit serta gulma, varietas unggul,
mekanisasi pertanian menggunakan energi fosil dan pengembangan irigasi. Masalah
tersebut timbul, karena dikembangkannya sistem pertanaman tunggal. Penggunaan
pupuk dan pestisida diramalkan akan tetap mengalami kenaikan secara
eksponensial (Edwards, 1987), kecuali ada perubahan filosofi tentang produksi
tanaman, yang memperhatikan keadaan petani kecil dan penyelamatan hngkungan.
Suatu konsensus telah dikembangkan
untuk mengantisipasi pertanian berkelanjutan. Sistem produksi yang dikembangkan
berasaskan LEISA (Low
External Input Sustainable Agriculture) yang kalau
diterjemahkan sebagai ( Pertanian Berkelanjutan/Lestari,
Masukan Dari Luar Usahatani Rendah ). Konsep ini dapat dijabarkan
menjadi beberapa rakitan operasional, antara lain: meningkatkan produktivitas,
melaksanakan konservasi energi dan sumberdaya alam,mencegah terjadinya erosi
dan membatasi kehilangan unsur hara, meningkatkan keuntungan usahatani,
memantapkan dan ketenlanjutan konservasi serta sistem produksi pertanian.
Berdasarkan takrif sistem
pertanian masukan teknologi rendah, maka ada dua tujuan yang akan dicapai,
yaitu:
1. Berusaha
mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi dari dalam usaha tani
(on-farm resources), sehingga diperoleh hasil pertanian dan peternakan yang
memadai dan secara ekonomi menguntungkan. Pendekatan ini menitikberatkan pada
pengelolaan tanaman, seperti pergiliran tanaman, pendauran ulang limbah
pertanian, memanfaatkan pupuk kandang atau kotoran ternak, pengolaan tanah yang
berasaskan konservasi untuk mencegah erosi dan kehilangan unsur hara, dan
mempertahankan serta meningkatkan produktivitas tanah.
2. Membatasi
ketergantungan pertanian pada masukan yang berasal dan luar usahatani (off-farm resources), seperti
pupuk pabrik dan pestisida, sedapat mungkin dilaksanakan penurunan biaya
produksi, menghindarkan polusi terhadap air permukaan dan air tanah, membatasi
residu pestisida dalam makanan, membatasi semua resiko yang dihadapi petani,
dan meningkatkan keuntungan usahatani untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Sistem pertanian ini tetap
memanfaatkan teknologi modern, seperti benih hibrida berlabel, melaksanakan
konservasi tanah dan air, pengelolaan tanah yang berasaskan konservasi.
Membatasi penggunaan dan keperluan yang berasal dari luar usahatani seperti
pupuk pabrik dan pestisida, dengan mengembangkan pergiliran tanaman,
mengembangkan pengelolaan tanaman dan ternak secara terpadu, mendaur ulang
limbah pertanian dan pupuk kandang untuk mempertahankan produktivitas tanah.
Meskipun sistem pertanian masukan
rendah dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada
pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan, termasuk konservasi
sumberdaya lahan, namun penerapannya
tidak mudah dan akan menghadapi banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan
pemenintah dan sosio-politik sangat menentukan arah pengembangan sistem
pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi.
- Pengelolaan Kesehatan Tanah
Tanah yang sehat merupakan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh
tanaman yang sehat. Kesehatan tanaman dipengaruhi secara langsung penyerapan
senyawa organik tertentu yang dihasilkan apabila organisme tanah mendekomposisi
bahan organik.
Kesehatan tanaman secara tidak langsung terpengaruh apabila salah satu
mikroorganisme menekan perkembangan mikroorganisme yang lain sehingga menghambat
pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman tumbuh, maka terjadi ketidakseimbangan
kondisi ekologi karena keanekaragaman alamiah dari ekosistem menurun. Prinsip
ekologi dasar adalah mencoba untuk memperbaiki keseimbangan alamiah yang ada.
Pada umumnya penyakit tanaman yang berasal dari tanah akan menurun apabila
ditambahkan bahan organik, karena pertumbuhan organisme penyebab penyakit
dihambat oleh mikroorganisme lain atau karena terjadi peningkatan jumlah
antagonisme. Makin banyak jumlah dan variasi mikroorganisme tanah makin baik
penanggulangan patogen secara biologi.
Keseimbangan pemupukan merupakan dasar kesehatan tanaman. Terlalu banyak
atau terlalu sedikit hara tanaman akan membuat tanaman mudah terserang penyakit
atau hama. Terlalu banyak pemupukan nitrogen, pertumbuhan vegetatif tanaman
berlebihan, tetapi tanaman peka terhadap penyakit. Bahaya ini berkurang apabila
pemupukan organik dilakukan, karena bahan organik secara perlahan melepas hara.
Pengelolaan bahan organik, pengolahan tanah dan pengelolaan kesehatan
tanah kemungkinan tidak cukup untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan
pertumbuhan tanaman, karena curah hujan terlalu tinggi atau terlalu rendah; air
tanah
terlalu dangkal; kelerengan tanah yang curam; atau tanah bersifat impermeabel,
kahat salah satu unsur, terlalu masam. Maka diperlukan usaha perbaikan
pengatusan, pemanenan air dan pembuatan teras, dan pemupukan. Petani tidak
selalu mempunyai
modal atau waktu untuk melakukan investasi. Pemilihan jenis tanaman dan
ternak harus menyesuaikan dengan kondisi agroekosistem setempat.
- Membatasi kehilangan hara
Kehilangan hara dan dalam tanah dapat dibatasi melalui:
(a) mendaur ulang limbah organik,
dalam bentuk: pupuk kandang, pupuk asti (asal tinja), limbah pertanaman, limbah
pengolahan hasil pertanian, limbah rumah tangga, dengan cara mengembalikan di
lahan pertanian secara langsung atau melalui perlakuan
(proses pengomposan, fermentasi dll);
(b) menangani pupuk organik dan
buatan sedemikian rupa sehingga unsur hara tidak banyak yang hilang karena
hujan yang berlebihan atau volatilisasi karena temperatur dan radiasi matahari
yang tinggi;
(c) mengurangi terjadinya aliran
permukaan (run off) dan erosi, yang mampu menghilangkan hara tanaman dalam
jumlah yang cukup besar;
(d) mengurangi pembakaran
vegetasi (tebas-bakar/slash and burn) apabila sistem usaha tani dilakukan
secara intensif, karena melalui pembakaran akan menghilangkan kandungan bahan
organik tanah banyak sekali;
(e) mengurangi terjadinya
volatilisasi nitrogen melalui proses denitrifikasi di lahan sawah;
(f) menghindarkan terjadinya
pelindian dengan menggunakan bahan organik dan pupuk buatan yang mampu
melepaskan hara secara perlahan, mempertahankan kandungan humus tetap tinggi,
pertanaman campuran/ganda dengan komposisi tanaman yang mempunyai kedalaman
sistem perakaran berbeda;
(g) membatasi kehilangan hara
bersama hasil panen dengan cara menanam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi nisbi terhadap kandungan hara, misalkan, buah-
buahan, leguminose, rumput dan susu;
(h) menghasilkan produksi
swasembada, sehingga beberapa jenis produksi dapat diekspor, dan limbahnya
dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak atau pupuk organik.
Kehilangan hara dari lahan pertanian ke pasar tidak dapat dihindarkan,
karena petani memerlukan biaya untuk membayar pajak, kebutuhan rumah tangga
sehari-hari, dll. Demikian juga tidak mungkin menghindarkan sama sekali
kehilangan hara akibat erosi dan peiindian.
- Penanggulangan erosi
Seperti telah disampaikan oleh Fujisaka (1991) dan Sutanto, (1992) bahwa
terdapat 13 alasan utama mengapa petani lahan kering tidak mengadopsi inovasi
teknologi. Alasan tersebut adalah:
(1) petani tidak menghadapi
masalah dengan lahannya,
(2) inovasi teknologi tidak
sepadan dengan kondisi petani,
(3) petani tidak mengenal
erosi,
(4) fasilitas inovasi tidak dapat
berfungsi sepenuhnya,
(5) identifikasi proyek yang
dilakukan tidak tepat,
(6) tidak sepadan dengan
kebiasaan petani,
(7) tidak berpengaruh langsung
pada lahan milik petani tetapi berpengaruh di tempat lain,
(8) variasi kondisi lokasi
menyulitkan dalam inovasi,
(9) memerlukan modal biaya
tinggi,
(10) tidak pernah dilakukan
penyuluhan yang tepat,
(11) lahan garapan bukan hak
milik,
(12) konotasi sosial yang bersifat
negatif,
(13) pelaksanaan inovasi tidak
sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Beberapa usaha melalui sistem pertanian terpadu dilaksanakan di beberapa
tempat yang dinilai kritis, seperti di DAS Jratunseluna, DAS Brantas dan DAS
Citanduy. Penanggulangan erosi bukan merupakan tujuan tetapi sebagai bagian
dari usaha yang bersifat holistik untuk memperbaiki produktivitas lahan dan
konservasi sumbendaya alam, dan petani diberi kesempatan berpartisipasi dalam
menyusun perencanaan pada tingkat lokal, pengembangan teknologi dan pengelolaan
sumberdaya alam.
PEMANFAATAN SUMBER GENETIKA YANG
SALING MENDUKUNG DAN BERSIFAT SINERGISME
Pertanaman maupun peternakan campunan bukan
hanya sekedar mengumpulkan sumber genetika secara acak. Setiap spesies harus
sesuai dengan kondisi Iingkungan biofisik dan sosial ekonomi petani, dan harus
menunjukkan kondisi produktif, reproduktif, protektif atau fungsi sosial, atau
kombinasi dari masing-masing kondisi tersebut.
Kesesuaian lahan, permintaan pasar,
ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, pengetahuan, sumber genetika) dan
masukan (pupuk, pestisida, obat-obatan, air) sangat diperlukan petani untuk
lebih berkonsentrasi pada tanaman dan ternak ertentu. Menciptakan kesempatan
pemasaran untuk salah satu hasil dan sekian banyak jenis tanaman dan ternak,
memberikan petani kesempatan meraih keuntungan dari sistem pertanaman campuran
yang dikembangkan.
- Memanfaatkan interaksi tanaman
Tanaman berinteraksi satu dengan
yang lain berdasarkan ruang dan waktu (horisontal dan vertikal). Selama proses
pertumbuhan tanaman memerlukan energi, air dan hara dari lingkungan, tetapi
yang diperlukan tergantung pada tahapan pertumbuhan. Selama pertumbuhan, faktor
iklim berubah menurut musim, dan tanaman itu sendiri mempengaruhi kondisi iklim
mikro (kelembaban, temperatur tanah dan udara, naungan) dan makin besar tanaman
maka jumlah air dan hara yang diperlukan makin meningkat. Dalam sistem
pertanaman campuran yang memegang peranan penting adalah pemilihan jenis
tanaman yang memiliki pertumbuhan optimal berdasarkan ruang dan waktu.
Teknik yang berhubungan dengan
dimensi keruangan dapat digunakan dalam memilih tanaman berdasarkan perbedaan
kerapatan tanaman, pola pertanaman dan pengaturan keruangan. Teknik yang
berhubungan dengan dimensi waktu berhubungan dengan waktu
tanam,rotasi/pergiliran tanaman dan pemupukan.
Setiap waktu perlu dilakukan
perubahan kombinasi jenis tanaman untuk lebih meningkatkan efisiensi penggunaan
sumberdaya seperti hara tanaman, air dan tenaga kerja, mempertahankan kesuburan
tanah (pemberoan tanah) atau menurunkan populasi hama dan penyakit. Teknik yang
dapat dikembangkan adalah tumpang gilir, tumpang sari, pertanaman ganda dll.
- Memelihara diversifikasi dan fleksibilitas
Sistem pertanian yang
berkelanjutan tergantung pada fleksibilitas karena pengaruh kondisi lingkungan.
Makin besar ketersediaan sumber genetika, makin fleksibel sistem yang
dikembangkan.
Petani dapat memilih
diversifikasi yang akan dilaksanakan dengan menggunakan campuran jenis,
campuran varietas dan jenis yang sama, atau varietas yang mempunyai komposisi
genetika berbeda.
- Pertanaman campuran
Apabila dua atau
lebih tanaman ditanam pada petak yang sama, baik pada waktu bersamaan atau
segera setelah salah satu tanaman dipanen disebut “pertanaman ganda”. Tanaman
yang digunakan baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim,
tetapi para pakar
pertanian telah mengembangkan sistem pertanaman ganda yang memanfaatkan
kombinasi tanaman keras/tahunan (pohon, semak, rerumputan) dengan tanaman
semusim. Kombinasi tanaman pohon dikenal sebagai hutan tani (agroforestry),
agrosilvopasture dll.
Pada awalnya
pertanian merupakan sistem campuran (Francis, 1986). Kemudian setelah teknologi
berkembang: penggunaan pupuk kimia, pestisida, benih hibrida, maka sistem
produksi lebih diarahkan pada fungsi reproduksi dan protektif. Masukan dari
luar usahatani terhadap sistem pertanaman yang relatif seragam dengan
keanekaragaman yang rendah baik spesies dan varietas. Salah satu tekno1ogi
tradisionil yang cukup banyak dikembangkan adalah budidaya lorong/pertanaman
lorong untuk lahan kering yang miring yang disebut juga sebagai SALT (Sloping Agricultural Land
Technology). Teknologi tradisionil ini berusaha memadukan konservasi tanah dan
air, meningkatkan kesuburan tanah, diversifikasi tanaman dan produktivitas
lahan. Sistem pertanaman lorong sebagai salah satu sistem wanatani yang
memadukan praktek pengelolaan hutan secara tradisionil dan proses daur hara
secara alamiah ke dalam sistem usahatani yang lebih intensif, produktif dan
berkelanjutan (Sutanto, 1996).
Budidaya lorong
bersifat multiguna, sehingga dapat ditinjau dari beberapa gatra, antara
lain:
(1) mencegah terjadinya kerusakan tanah akibat
erosi permukaan (gatra konservasi),
(2) melestarikan
dan meningkatkan kesuburan tanah (gatra kesuburan tanah),
(3) anaman
pagar terutama jenis legum dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, makanan
ternak, sayuran dan penyediaan kayu bakar (gatra multiguna tanaman pagar),
(4) tanaman
pagar dapat berfungsi sebagai pematah angin sehingga tanaman pokok terlindung
dan kerusakan akibat angin,
(5) produktivitas
lahan dapat ditingkatkan.
- Pertanian dan peternakan secara terpadu
Ternak mempunyai
peranan yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan petani kecil. Hasil yang
dapat dimanfaatkan adalah daging, susu, telur dll. Disamping itu mempunyai
peranan penting hubungannya dengan budaya setempat. Program usahatani
konservasi yang banyak dilaksanakan terutama di DAS kritis lebih banyak
memanfaatkan keterpaduan program peternakan dan pertanian.
- Pertanian dan perikanan secara terpadu
Di wilayah bawahan yang cukup
air usaha pertanian dapat dikembangkan bersama-sama dengan usaha perikanan.
Cukup banyak sistem tradisionil yang telah berkembang terutama di Jawa Barat
yang memadukan antara pertanian dan peternakan.Mina padi merupakan usaha
perikanan di lahan sawah.
Kolam ikan di pekarangan dapat
dikembangkan dengan memanfaatkan daur pendek rumah tangga dan kolam. Demikian
juga daur pendek ini dapat dikembangkan dengan memanfaatkan sampah pekarangan
untuk makanan ikan dan pertanaman di pekarangan dapat disirami dengan air yang
berasal dan kolam. Pada waktu-waktu tertentu lumpur kolam dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pembenah tanah di sekitar pekarangan.
- Mengembangkan tanaman dan ternak jenis lokal
Untuk mengembangkan keanekaragaman
hayati maka jenis-jenis lokal baik tanaman maupun ternak perlu diinventarisasi.
Sebetulnya cukup banyak jenis-jenis lokal yang unggul karena sudah memiliki
seleksi alam sehingga mempunyai daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
a.
Anonim.
1990. Scientific information for sustainable development. SCOPE Newsletter
(33):4-5
b.
Biro Pusat
Statistik. 1982. Statistik Indonesia. Statistik tahunan. BPS. Jakarta
c.
Edwards,
C.A. 1990. The importance of integration in sustainable agriculture systems.
Dalam: C.A. Edwards, R.Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. House (Eds.).
Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society.
h.249-264.
d.
Francis,
C.A. 1986. Multiple cropping systems. Macmillan New York. 383 hal.
e.
Fujisaka,
S. 1991. Thirteen reasons why farmers do not adopt innovations intended to
improve the sustainability of upland agriculture. Dalam:
J. Dumanski, E. Puspharajah, M. Latham,R. Myers (Eds.): Evaluation for
Sustainable Land Management in the Developing World. IBSRAM Proc. No.12 (II):
hal. 509-521.
f.
Fukuoka,
M. 1985. The one-straw revolution. Bamtam Books. Toronto. xxviii+ 155h.
g.
Gever, J.,
R. Kaufmann, D. Skoie, and C. Vorosmarty. 1991. Beyond oil: The threat to food
and fuel in the coming decades. 3rd ed. Univ. Press of Colorado, Niwot.
h.
Ghildyal,
B.P. 1984. Rethinking soil physics research. Jour. Indian Soc. Soil Sci.
32:556-574.
i.
Gips, T.
1986. What is sustainable agriculture?.
Dalam: Allen P. and D. Dusen
(Eds.), Global prespectives on agroecology and sustainable agriculture systems:
Proc. of the 6th Int. Scientific Conference of the International Federation of
Organic agriculture Movement (Santa Cruz: Agroecology Program, Univ. of
California) vol 1: hal 63-74.
j.
Harwood, R.R.
1990. A history of sustainable agriculture.
Dalam: C.A.Edwards, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. House (Eds.)
Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. h.3-19.
k.
Lal, R.,
and B.A. Stewart. 1990. Soil degradation. Springer- New York. 345 hal.
l.
Lynam,
J.K. and R.W. Herdt. 1988. Sense and Sustainability: sustainability as an
objective in international agricultural research. Paper, CIP-Rockefeller
conference Farmers and Food Systems, Lima, Peru, 26-30 Sept. 1988.
m.
Notohadiprawiro,
T. 1987. Ekoteknologi, suatu pilihan arif untuk pembangunan pertanian
Indonesia. Seminar mingguan, Fakultas Pertanian UGM.
n.
________.
1988. Upaya memenuhi kecukupan pangan suatu pengalaman di Indonesia. Kuliah
umum di Institut Pertanian Yogyakarta. 12 November 1988.
o.
Plucknett,
D.L. 1990. International goals and the role of the international agricultural
research centers. Dalam: C.A. Edwards, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G.
House (Eds.) Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation
Society. h.33-49
p.
Reijntjes
C, B. Haverkort, A.W. Bayer. 1992. Farming for the future. Introduction to
low-external-input and Sustainable agriculture. Macmillan-ILEIA, Netherlands.
q.
Rodale, R.
1983. Breaking new ground: The search for a sustainable agriculture. The
Futurist 1(1): 15-20.
r.
Sutanto,
R. 1992. Pengembangan lahan kering berwawasan konservasi di wilayah permukiman
Waduk Kedungombo. Mimeograph Konsultan P.T. lndah Karya kepada Proyek
Jratunseluna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.