teks

SELAMAT DATANG DI BLOG BPP KECAMATAN TIRISblink>

Sabtu, 10 November 2012

GATRA TANAH PERTANIAN AKRAB LINGKUNGAN DALAM MENYONGSONG PERTANIAN MASA DEPAN



GATRA TANAH PERTANIAN AKRAB
LINGKUNGAN DALAM MENYONGSONG
PERTANIAN MASA DEPAN


PENDAHULUAN

Tantangan yang dihadapi kebanyakan negara berkembang dalam meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang makin meningkat (UNCED, 1992). Hal  ini merupakan dilema, disatu pihak kita masih dituntut untuk mempertahankan swasembada pangan dengan menerapkan “prinsip pertanian konvensional” yang ketergantungannya terhadap masukan dari luar usahatani cukup tinggi (high external input), tetapi di pihak lain kita dituntut untuk mengembangkan “pertanian alternatif” yang akrab lingkungan. Seperti dikemukakan oleh Gever  et al,  (1991) bahwa tangtangan yang dihadapi pertanian abad 21 adalah pertanian yang berbasis energi matahari dan kegiatan biologi  untuk menggantikan pertanian berbasis petrokimia. Ketergantungan kita yang cukup tinggi terhadap masukan yang berasal dari sumberdaya tak terbarukan, seperti fosfat dan minyak tidak dapat lebih lama lagi.
Pembangunan di semua sektor termasuk pertanian tidak terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi (iptek). Sumberdaya alarn yang diekploitasi secara berlebihan menyebabkan dalam waktu relatif singkat sumberdaya tersebut akan hilang dan alam itu sendiri menjadi tidak bersahabat terhadap kehidupan manusia. Manusia di seluruh dunia mulai membicarakan masalah pembangunan berkelanjutan  atau pembangunan berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan lebih menitik beratkan pada dua gatra utama: (1) pembangunan harus  bermitra  dengan  alam,  dan (2) pembangunan  bukan hanya  untuk kesejahteraan manusia masa kini tetapi juga untuk  generasi mendatang;  generasi yang akan datang perlu diberikan warisan sumberdaya alam yang cukup untuk menunjang kesejahteraan mereka. 

KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN

Ada beberapa takrif (definition) yang berkembang pada saat ini tentang “Pertanian berkelanjutan”. Menurut World Conservation Strategy 1980 pembangunan berkelanjutan ditakrifkan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Anon., 1990). Menurut TAC/CGIAR (1988),
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. Pertanian berwawasan lingkungan selalu memperhatikan nasabah tanah, air, manusia, hewan/ternak, makanan, pendapatan dan kesehatan. Sedang tujuan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah; meningkatkan dan mempertahankan basil pada aras yang optimal; mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati dan ekosistem; dan yang lebih penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan makhluk hidup lainnya.
Menurut Gips (1986), sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, antara lain: 
1.  Aman menurut wawasan lingkungan, berarti kualitas sumberdaya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem dipertahankan/mulai dari kehidupan manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai apabila tanah terkelola dengan baik, kesehatan tanah dan tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia maupun hewan ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya kehilangan hara, biomassa dan energi, dan menghindarkan terjadinya polusi. Menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya terbarukan. 
2.  Menguntungkan secara ekonomi,berarti petani dapat menghasilkan sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri/pendapatan, dan cukup memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan biaya produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur langsung berdasarkan basil usahataninya, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap lingkungan.
3. Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi, demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama berpartisipasi dalam menentukan kebijkan, baik di lapangan maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
4. Manusiasi terhadap semua bentuk kehidupan,  berarti tanggap terhadap semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) prinsip dasar semua bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu dipertahankan dan dilestarikan.
5.  Dapat dengan mudah diadaptasi, berarti masyarakat pedesaan/petani mampu dalam menyesuaikan dengan perubahan kondisi usahatani: pertambahan penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan,tetapi termasuk juga inovasi sosial dan budaya

Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus dapat difungsikan secara malar (continous). Sekarang kita sudah mulai sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budi daya manusia untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketersediaan sumberdaya adalah terbatas..
Petani lebih tertarik pada pendapatan yang tinggi dari hasil usahataninya; pemerintah kemungkinan memberikan prioritas pada kecukupan pangan dengan harga yang terjangkau penduduk pedesaan. Pemilihan prioritas pengembangan harus dilakukan secara terus menerus untuk meniadakan perbedaan pandangan dan kepentingan. Dengan demikian, diperlukan kelembagaan yang dapat berfungsi baik dalam menyusun dan menghasilkan kebijakan yang baik dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan, baik dari tingkat desa sampai global. 

Pembangunan pertanian pada umumnya dan khususnya pertanian pangan banyak menghadapi kendala berupa: 
(a)     Ketersediaan lahan potensial untuk pertanian terutama di luar P. Jawa semakin terbatas karena sudah semakin banyak yan telah dibuka dan dimanfaatkan untuk pertanian maupun kepentingan yang lain;
(b)     Untuk membuka dan mengembangkan lahan yang berpotensi lebih rendah (marginal) dan padat masalah diperlukan biaya yang lebih tinggi yang tentu saja akan membebani lebih berat anggaran belanja negara, disamping akan memberikan tekanan lebih berat pada sumberdaya alam dan lingkungan;  
(c)     Persaingan kepentingan dengan sektor lain terus berlangsung dan menunjukkan kecenderungan meningkat, prospek pertanian pada umumnya dan prospek petani pada khususnya sangatlah suram;
(d)  Pengalihan fungsi lahan pertanian subur ke lahan bukan pertanian meningkat secara dramatis terutama di Jawa, untuk pengembangan kota, pemukiman, kawasan pariwisata, fasilitas umum, jaringan jalan dan jaringan irigasi; Keppres Nomor 33 tahun 1990 ternyata kurang berperanan dalam mencegah pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian;
(e)     Luas garapan terlalu sempit. Walaupun jumlah pendapatannya tinggi, tetapi tidak mencukupi untuk hidup layak petani dan keluarganya, apalagi untuk meningkatkan masukan atau mengadakan investasi dalam usahataninya;
(f)      Teknologi konservasi sumberdaya tanah tidak dapat diterapkan secara baik, seperti telah dilaporkan oleh Fujisaka (1991), disebabkan karena luas pemilikan lahan terlalu sempit, tekanan penduduk yang besar, kondisi biofisik lahan tidak seragam, biaya investasi konservasi yang mahal;
(g)  Dilema irigasi konvensional sebagai andalan pengembangan lahan pertanian tanaman pangan dan lahan produksi banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, disamping sudah yang jauh berkurang karena ditempati industri, permukiman dan infrastruktur lainnya;
(h)  Kerusakan lahan pertanian makin meningkat, terjadi baik akibat erosi, pemakaian pupuk kimia dan obat kimia secara berlebihan, tidak ada pendauran ulang limbah pertanian;
(i)      Terjadi penyempitan pemilikan lahan akibat luas lahan terbatas, penduduk terus bertambah, di lain pihak sektor pertanian harus menyediakan lapangan kerja terbesar;
(j)  Istilah swasembada pangan yang diartikan terlalu harfiah, sehingga membatasi peluang dan kesempatan petani dalam memilih komoditas yang lebih menguntungkan; kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan undang-undang budidaya tanaman No 12 tahun 1992.
(k)  Teknologi produksi yang dipaketkan dari atas menghambat penerapan konsep rasionalisasi pembangunan pertanian yang antara lain berisi wawasan pewilayahan agroekosistem dan LEISA (low external sustainable agriculture);
(l)      Pembangunan industri pada umumnya tidak mendukung pembangunan pertanian, bahkan justru sering menyaingi pembangunan pertanian.

Kalau diperhatikan lebih mendalam bahwa keberhasilan pembangunan pertanian, terutama sektor tanaman pangan lebih banyak terjadi di lahan bawahan (sawah) yang terpusat di Jawa dan infrastruktur mendukung.
Keberhasilan ini tercapai melalui: 
(a)     penggunaan bibit unggul secara meluas, 
(b)     penggunaan pupuk kimia terutama N dengan dosis tinggi secara meluas, dan pemberantasan hama penyakit dengan obat kimia, 
(c)  pembangunan fasilitas irigasi secara besar-besaran, perluasan lahan sawah, perluasan intensifikasi padi sawah secara monokultur, 
(d)     mengatur produksi secara sentral dengan paket teknologi masukan tinggi, 
(e)     pemberian subsidi kepada sarana produksi dan kredit usahatani dalam jumlah besar, 
(f)      penyediaan anggaran penelitian, pengembangan dan pembangunanlahan sawah yang cukup besar.

Pembangunan pertanian dinilai telah berhasil meningkatkan produksi pangan, tetapi di pihak lain telah terjadi kemenosotan sumberdaya alam, degradasi lingkungan dan kemunduran rasa solidaritas masyarakat pedesaan. Dampak negatif pembangunan pertanian telah mendorong kita untuk lebih memperhatikan usaha-usaha mennyelamatkan sumberdaya dari kerusakan yang lebih jauh.

PENERAPAN DAN PILIHAN TEKNOLOGI

  1. Teknologi Produksi Pertanian

 Meningkatnya keperdulian masyarakat dunia akan kelestanian lingkungan, terutama oleh negara-negara maju yang semula teknologi produksinya dicirikan oleh budidaya yang mengandalkan masukan teknologi benenengi tinggi, ternyata beberapa tahun terakhir telah berupaya merakit dan mengembangkan budidaya pertanian yang menggunakan pendekatan  agroekosistem. Secara ringkas agroekosistem ialah ekosistem yang diubah sebagian oleh orang untuk menghasilkan pangan, serat dan hasil pertanian lainnya (Ghildyal, 1984). Upaya peningkatan produktivitas akhirnya akan dihadapkan kepada masalah membatasi kerusakan lingkungan dan sumberdaya.

Produksi tanaman pangan telah meningkat secara dramatis, setelah diketemukannya varietas unggul yang berproduksi tinggi. Akan tetapi, varietas unggul tersebut sangat bergantung pada masukan berenengi tinggi (high external input), dalam bentuk pupuk kimia dan pestisida sintetis untuk memberantas hama dan penyakit serta gulma, varietas unggul, mekanisasi pertanian menggunakan energi fosil dan pengembangan irigasi. Masalah tersebut timbul, karena dikembangkannya sistem pertanaman tunggal. Penggunaan pupuk dan pestisida diramalkan akan tetap mengalami kenaikan secara eksponensial (Edwards, 1987), kecuali ada perubahan filosofi tentang produksi tanaman, yang memperhatikan keadaan petani kecil dan penyelamatan hngkungan.

Suatu konsensus telah dikembangkan untuk mengantisipasi pertanian berkelanjutan. Sistem produksi yang dikembangkan berasaskan  LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang kalau diterjemahkan sebagai ( Pertanian Berkelanjutan/Lestari, Masukan Dari Luar Usahatani Rendah ). Konsep ini dapat dijabarkan menjadi beberapa rakitan operasional, antara lain: meningkatkan produktivitas, melaksanakan konservasi energi dan sumberdaya alam,mencegah terjadinya erosi dan membatasi kehilangan unsur hara, meningkatkan keuntungan usahatani, memantapkan dan ketenlanjutan konservasi serta sistem produksi pertanian.

Berdasarkan takrif sistem pertanian masukan teknologi rendah, maka ada dua tujuan yang akan dicapai, yaitu:
1.      Berusaha mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi dari dalam usaha tani (on-farm resources), sehingga diperoleh hasil pertanian dan peternakan yang memadai dan secara ekonomi menguntungkan. Pendekatan ini menitikberatkan pada pengelolaan tanaman, seperti pergiliran tanaman, pendauran ulang limbah pertanian, memanfaatkan pupuk kandang atau kotoran ternak, pengolaan tanah yang berasaskan konservasi untuk mencegah erosi dan kehilangan unsur hara, dan mempertahankan serta meningkatkan produktivitas tanah.
2.      Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan yang berasal dan  luar usahatani (off-farm resources), seperti pupuk pabrik dan pestisida, sedapat mungkin dilaksanakan penurunan biaya produksi, menghindarkan polusi terhadap air permukaan dan air tanah, membatasi residu pestisida dalam makanan, membatasi semua resiko yang dihadapi petani, dan meningkatkan keuntungan usahatani untuk jangka pendek dan jangka panjang.

Sistem pertanian ini tetap memanfaatkan teknologi modern, seperti benih hibrida berlabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, pengelolaan tanah yang berasaskan konservasi. Membatasi penggunaan dan keperluan yang berasal dari luar usahatani seperti pupuk pabrik dan pestisida, dengan mengembangkan pergiliran tanaman, mengembangkan pengelolaan tanaman dan ternak secara terpadu, mendaur ulang limbah pertanian dan pupuk kandang untuk mempertahankan produktivitas tanah.
Meskipun sistem pertanian masukan rendah dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan, termasuk konservasi sumberdaya  lahan, namun penerapannya tidak mudah dan akan menghadapi banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan pemenintah dan sosio-politik sangat menentukan arah pengembangan sistem pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi.

  1. Pengelolaan Kesehatan Tanah

Tanah yang sehat merupakan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh tanaman yang sehat. Kesehatan tanaman dipengaruhi secara langsung penyerapan senyawa organik tertentu yang dihasilkan apabila organisme tanah mendekomposisi bahan organik.
Kesehatan tanaman secara tidak langsung terpengaruh apabila salah satu mikroorganisme menekan perkembangan mikroorganisme yang lain sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman tumbuh, maka terjadi ketidakseimbangan kondisi ekologi karena keanekaragaman alamiah dari ekosistem menurun. Prinsip ekologi dasar adalah mencoba untuk memperbaiki keseimbangan alamiah yang ada. Pada umumnya penyakit tanaman yang berasal dari tanah akan menurun apabila ditambahkan bahan organik, karena pertumbuhan organisme penyebab penyakit dihambat oleh mikroorganisme lain atau karena terjadi peningkatan jumlah antagonisme. Makin banyak jumlah dan variasi mikroorganisme tanah makin baik penanggulangan patogen secara biologi.
Keseimbangan pemupukan merupakan dasar kesehatan tanaman. Terlalu banyak atau terlalu sedikit hara tanaman akan membuat tanaman mudah terserang penyakit atau hama. Terlalu banyak pemupukan nitrogen, pertumbuhan vegetatif tanaman berlebihan, tetapi tanaman peka terhadap penyakit. Bahaya ini berkurang apabila pemupukan organik dilakukan, karena bahan organik secara perlahan melepas hara.
Pengelolaan bahan organik, pengolahan tanah dan pengelolaan kesehatan tanah kemungkinan tidak cukup untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan pertumbuhan tanaman, karena curah hujan terlalu tinggi atau terlalu rendah; air tanah
terlalu dangkal; kelerengan tanah yang curam; atau tanah bersifat impermeabel, kahat salah satu unsur, terlalu masam. Maka diperlukan usaha perbaikan pengatusan, pemanenan air dan pembuatan teras, dan pemupukan. Petani tidak selalu mempunyai
modal atau waktu untuk melakukan investasi. Pemilihan jenis tanaman dan ternak harus menyesuaikan dengan kondisi agroekosistem setempat.

  1. Membatasi kehilangan hara
Kehilangan hara dan dalam tanah dapat dibatasi melalui:
(a)  mendaur ulang limbah organik, dalam bentuk: pupuk kandang, pupuk asti (asal tinja), limbah pertanaman, limbah pengolahan hasil pertanian, limbah rumah tangga, dengan cara mengembalikan di lahan pertanian secara langsung atau melalui perlakuan
(proses pengomposan, fermentasi dll);
(b)  menangani pupuk organik dan buatan sedemikian rupa sehingga unsur hara tidak banyak yang hilang karena hujan yang berlebihan atau volatilisasi karena temperatur dan radiasi matahari yang tinggi;
(c)  mengurangi terjadinya aliran permukaan (run off) dan erosi, yang mampu menghilangkan hara tanaman dalam jumlah yang cukup besar;
(d)  mengurangi pembakaran vegetasi (tebas-bakar/slash and burn) apabila sistem usaha tani dilakukan secara intensif, karena melalui pembakaran akan menghilangkan kandungan bahan organik tanah banyak sekali;
(e)  mengurangi terjadinya volatilisasi nitrogen melalui proses denitrifikasi di lahan sawah;
(f)  menghindarkan terjadinya pelindian dengan menggunakan bahan organik dan pupuk buatan yang mampu melepaskan hara secara perlahan, mempertahankan kandungan humus tetap tinggi, pertanaman campuran/ganda dengan komposisi tanaman yang mempunyai kedalaman sistem perakaran berbeda;
(g)  membatasi kehilangan hara bersama hasil panen dengan cara menanam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi nisbi terhadap kandungan hara, misalkan, buah-
buahan, leguminose, rumput dan susu;
(h)  menghasilkan produksi swasembada, sehingga beberapa jenis produksi dapat diekspor, dan limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak atau pupuk organik.
Kehilangan hara dari lahan pertanian ke pasar tidak dapat dihindarkan, karena petani memerlukan biaya untuk membayar pajak, kebutuhan rumah tangga sehari-hari, dll. Demikian juga tidak mungkin menghindarkan sama sekali kehilangan hara akibat erosi dan peiindian.

  1. Penanggulangan erosi
Seperti telah disampaikan oleh Fujisaka (1991) dan Sutanto, (1992) bahwa terdapat 13 alasan utama mengapa petani lahan kering tidak mengadopsi inovasi teknologi. Alasan tersebut adalah: 
(1)  petani tidak menghadapi masalah dengan lahannya, 
(2)  inovasi teknologi tidak sepadan dengan kondisi petani, 
(3)  petani tidak mengenal erosi, 
(4)  fasilitas inovasi tidak dapat berfungsi sepenuhnya, 
(5)  identifikasi proyek yang dilakukan tidak tepat, 
(6)  tidak sepadan dengan kebiasaan petani, 
(7)  tidak berpengaruh langsung pada lahan milik petani tetapi berpengaruh di tempat lain, 
(8)  variasi kondisi lokasi menyulitkan dalam inovasi, 
(9)  memerlukan modal biaya tinggi, 
(10)  tidak pernah dilakukan penyuluhan yang tepat, 
(11)  lahan garapan bukan hak milik, 
(12)  konotasi sosial yang bersifat negatif, 
(13)  pelaksanaan inovasi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Beberapa usaha melalui sistem pertanian terpadu dilaksanakan di beberapa tempat yang dinilai kritis, seperti di DAS Jratunseluna, DAS Brantas dan DAS Citanduy. Penanggulangan erosi bukan merupakan tujuan tetapi sebagai bagian dari usaha yang bersifat holistik untuk memperbaiki produktivitas lahan dan konservasi sumbendaya alam, dan petani diberi kesempatan berpartisipasi dalam menyusun perencanaan pada tingkat lokal, pengembangan teknologi dan pengelolaan sumberdaya alam.

PEMANFAATAN SUMBER GENETIKA YANG SALING MENDUKUNG DAN BERSIFAT SINERGISME

Pertanaman maupun peternakan campunan bukan hanya sekedar mengumpulkan sumber genetika secara acak. Setiap spesies harus sesuai dengan kondisi Iingkungan biofisik dan sosial ekonomi petani, dan harus menunjukkan kondisi produktif, reproduktif, protektif atau fungsi sosial, atau kombinasi dari masing-masing kondisi tersebut.
Kesesuaian lahan, permintaan pasar, ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, pengetahuan, sumber genetika) dan masukan (pupuk, pestisida, obat-obatan, air) sangat diperlukan petani untuk lebih berkonsentrasi pada tanaman dan ternak ertentu. Menciptakan kesempatan pemasaran untuk salah satu hasil dan sekian banyak jenis tanaman dan ternak, memberikan petani kesempatan meraih keuntungan dari sistem pertanaman campuran yang dikembangkan.

  1. Memanfaatkan interaksi tanaman

Tanaman berinteraksi satu dengan yang lain berdasarkan ruang dan waktu (horisontal dan vertikal). Selama proses pertumbuhan tanaman memerlukan energi, air dan hara dari lingkungan, tetapi yang diperlukan tergantung pada tahapan pertumbuhan. Selama pertumbuhan, faktor iklim berubah menurut musim, dan tanaman itu sendiri mempengaruhi kondisi iklim mikro (kelembaban, temperatur tanah dan udara, naungan) dan makin besar tanaman maka jumlah air dan hara yang diperlukan makin meningkat. Dalam sistem pertanaman campuran yang memegang peranan penting adalah pemilihan jenis tanaman yang memiliki pertumbuhan optimal berdasarkan ruang dan waktu.
Teknik yang berhubungan dengan dimensi keruangan dapat digunakan dalam memilih tanaman berdasarkan perbedaan kerapatan tanaman, pola pertanaman dan pengaturan keruangan. Teknik yang berhubungan dengan dimensi waktu berhubungan dengan waktu tanam,rotasi/pergiliran tanaman dan pemupukan.
Setiap waktu perlu dilakukan perubahan kombinasi jenis tanaman untuk lebih meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya seperti hara tanaman, air dan tenaga kerja, mempertahankan kesuburan tanah (pemberoan tanah) atau menurunkan populasi hama dan penyakit. Teknik yang dapat dikembangkan adalah tumpang gilir, tumpang sari, pertanaman ganda dll.

  1. Memelihara diversifikasi dan fleksibilitas

Sistem pertanian yang berkelanjutan tergantung pada fleksibilitas karena pengaruh kondisi lingkungan. Makin besar ketersediaan sumber genetika, makin fleksibel sistem yang dikembangkan.
Petani dapat memilih diversifikasi yang akan dilaksanakan dengan menggunakan campuran jenis, campuran varietas dan jenis yang sama, atau varietas yang mempunyai komposisi genetika berbeda.

  1. Pertanaman campuran

Apabila dua atau lebih tanaman ditanam pada petak yang sama, baik pada waktu bersamaan atau segera setelah salah satu tanaman dipanen disebut “pertanaman ganda”. Tanaman yang digunakan baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim,
tetapi para pakar pertanian telah mengembangkan sistem pertanaman ganda yang memanfaatkan kombinasi tanaman keras/tahunan (pohon, semak, rerumputan) dengan tanaman semusim. Kombinasi tanaman pohon dikenal sebagai hutan tani (agroforestry), agrosilvopasture dll.
Pada awalnya pertanian merupakan sistem campuran (Francis, 1986). Kemudian setelah teknologi berkembang: penggunaan pupuk kimia, pestisida, benih hibrida, maka sistem produksi lebih diarahkan pada fungsi reproduksi dan protektif. Masukan dari luar usahatani terhadap sistem pertanaman yang relatif seragam dengan keanekaragaman yang rendah baik spesies dan varietas. Salah satu tekno1ogi tradisionil yang cukup banyak dikembangkan adalah budidaya lorong/pertanaman lorong untuk lahan kering yang miring yang disebut juga sebagai SALT (Sloping Agricultural Land Technology). Teknologi tradisionil ini berusaha memadukan konservasi tanah dan air, meningkatkan kesuburan tanah, diversifikasi tanaman dan produktivitas lahan. Sistem pertanaman lorong sebagai salah satu sistem wanatani yang memadukan praktek pengelolaan hutan secara tradisionil dan proses daur hara secara alamiah ke dalam sistem usahatani yang lebih intensif, produktif dan berkelanjutan (Sutanto, 1996). 
Budidaya lorong bersifat multiguna, sehingga dapat ditinjau dari beberapa gatra, antara lain: 
(1)  mencegah terjadinya kerusakan tanah akibat erosi permukaan (gatra konservasi), 
(2)     melestarikan dan meningkatkan kesuburan tanah (gatra kesuburan tanah), 
(3)     anaman pagar terutama jenis legum dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, makanan ternak, sayuran dan penyediaan kayu bakar (gatra multiguna tanaman pagar), 
(4)     tanaman pagar dapat berfungsi sebagai pematah angin sehingga tanaman pokok terlindung dan kerusakan akibat angin, 
(5)     produktivitas lahan dapat ditingkatkan.

  1. Pertanian dan peternakan secara terpadu

Ternak mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan petani kecil. Hasil yang dapat dimanfaatkan adalah daging, susu, telur dll. Disamping itu mempunyai peranan penting hubungannya dengan budaya setempat. Program usahatani konservasi yang banyak dilaksanakan terutama di DAS kritis lebih banyak memanfaatkan keterpaduan program peternakan dan pertanian.

  1. Pertanian dan perikanan secara terpadu

Di wilayah bawahan yang cukup air usaha pertanian dapat dikembangkan bersama-sama dengan usaha perikanan. Cukup banyak sistem tradisionil yang telah berkembang terutama di Jawa Barat yang memadukan antara pertanian dan peternakan.Mina padi merupakan usaha perikanan di lahan sawah.
Kolam ikan di pekarangan dapat dikembangkan dengan memanfaatkan daur pendek rumah tangga dan kolam. Demikian juga daur pendek ini dapat dikembangkan dengan memanfaatkan sampah pekarangan untuk makanan ikan dan pertanaman di pekarangan dapat disirami dengan air yang berasal dan kolam. Pada waktu-waktu tertentu lumpur kolam dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembenah tanah di sekitar pekarangan.

  1. Mengembangkan tanaman dan ternak jenis lokal

Untuk mengembangkan keanekaragaman hayati maka jenis-jenis lokal baik tanaman maupun ternak perlu diinventarisasi. Sebetulnya cukup banyak jenis-jenis lokal yang unggul karena sudah memiliki seleksi alam sehingga mempunyai daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

a.         Anonim. 1990. Scientific information for sustainable development. SCOPE Newsletter (33):4-5
b.         Biro Pusat Statistik. 1982. Statistik Indonesia. Statistik tahunan. BPS. Jakarta
c.         Edwards, C.A. 1990. The importance of integration in sustainable agriculture systems. Dalam: C.A. Edwards, R.Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. House (Eds.). Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. h.249-264.
d.         Francis, C.A. 1986. Multiple cropping systems. Macmillan New York. 383 hal.
e.         Fujisaka, S. 1991. Thirteen reasons why farmers do not adopt innovations intended to improve the sustainability of upland agriculture.  Dalam:  J. Dumanski, E. Puspharajah, M. Latham,R. Myers (Eds.): Evaluation for Sustainable Land Management in the Developing World. IBSRAM Proc. No.12 (II): hal. 509-521.
f.          Fukuoka, M. 1985. The one-straw revolution. Bamtam Books. Toronto. xxviii+ 155h.
g.         Gever, J., R. Kaufmann, D. Skoie, and C. Vorosmarty. 1991. Beyond oil: The threat to food and fuel in the coming decades. 3rd ed. Univ. Press of Colorado, Niwot.
h.        Ghildyal, B.P. 1984. Rethinking soil physics research. Jour. Indian Soc. Soil Sci.
32:556-574.
i.          Gips, T. 1986. What is sustainable agriculture?.  Dalam:  Allen P. and D. Dusen (Eds.), Global prespectives on agroecology and sustainable agriculture systems: Proc. of the 6th Int. Scientific Conference of the International Federation of Organic agriculture Movement (Santa Cruz: Agroecology Program, Univ. of California) vol 1: hal 63-74.
j.          Harwood, R.R. 1990. A history of sustainable agriculture.  Dalam: C.A.Edwards, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. House (Eds.) Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. h.3-19.
k.         Lal, R., and B.A. Stewart. 1990. Soil degradation. Springer- New York. 345 hal.
l.          Lynam, J.K. and R.W. Herdt. 1988. Sense and Sustainability: sustainability as an objective in international agricultural research. Paper, CIP-Rockefeller conference Farmers and Food Systems, Lima, Peru, 26-30 Sept. 1988.
m.       Notohadiprawiro, T. 1987. Ekoteknologi, suatu pilihan arif untuk pembangunan pertanian Indonesia. Seminar mingguan, Fakultas Pertanian UGM.
n.        ________. 1988. Upaya memenuhi kecukupan pangan suatu pengalaman di Indonesia. Kuliah umum di Institut Pertanian Yogyakarta. 12 November 1988.
o.         Plucknett, D.L. 1990. International goals and the role of the international agricultural research centers. Dalam: C.A. Edwards, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. House (Eds.) Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. h.33-49
p.         Reijntjes C, B. Haverkort, A.W. Bayer. 1992. Farming for the future. Introduction to low-external-input and Sustainable agriculture. Macmillan-ILEIA, Netherlands.
q.         Rodale, R. 1983. Breaking new ground: The search for a sustainable agriculture. The Futurist 1(1): 15-20.
r.          Sutanto, R. 1992. Pengembangan lahan kering berwawasan konservasi di wilayah permukiman Waduk Kedungombo. Mimeograph Konsultan P.T. lndah Karya kepada Proyek Jratunseluna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.