teks

SELAMAT DATANG DI BLOG BPP KECAMATAN TIRISblink>

Rabu, 10 Desember 2014

KONFLIK KOMUNIKASI DALAM SISITUM PENYULUH PERTANIAN



Oleh : Anang Budi Prasetyo,SP
BPK Kecamatan Tiris
Seorang agen penyuluhan pertanian membutuhkan pengetahuan dan wawasan tentang cara berkomunikasi yang baik dan benar untuk dapat melaksanakan tugasnya. Selain itu pula perlu didukung oleh tingkat pengetahuan dan wawasan yang cukup dalam segala hal, karena sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan dan wawasan yang memadai untuk dapat memahami persoalan mereka, memikirkan solusinya, ataupun memilih solusi yang tepat untuk mencapai tujuan mereka. Selanjutnya adalah menyediakan informasi dan metode komunikasi yang efisIen dan efektif. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik antara agen penyuluhan pertanian dengan petani sebagai sasaran penyuluhan pertanian.
Konflik sebagai suatu proses ternyata dipraktekkan secara luas dalam masyarakat. Demikian juga halnya dengan komunikasi dalam bidang pertanian berpotensi menimbulkan konflik sebagai suatu proses social yang berlangsung dan melibatkan orang-orang atau kelompok tani-kelompok tani, yang tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ke taraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok tani lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.
Konflik komunikasi dalam bidang pertanian adalah terjadinya suatu keadaan, dimana komponen-komponen masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya atau terintegrasi secara tidak sempurna. Untuk itu penanganan masalah konflik komunikasi dalam bidang pertanian dapat mengacu pada teori konflik dengan penegasan sebagai kumpulan ide dalam memajukan gerakan-gerakan sosial atau untuk mempertahankan institusi sosial. Ideologi lebih merupakan sebuah sistem yang menjadi pedoman praktis.
Tiga bentuk ideologi pokok teori konflik yang muncul pada abad ke-19 diantaranya adalah sosialisme Marxis dan dua jenis sosial-Darwinisme. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam memahami teori konflik untuk membedakan ideologi dengan teori sains. Satu hal lagi dalam ideologi pokok teori konflik pada abad ke-19 menjadi ranah yang luar biasa dan masalah-masalah vital karena akhirnya sains sosial dapat mengatasi kondisi ini.
Banyak faktor yang telah menyebabkan terjadinya konflik komunikasi dalam bidang pertanian. Misalkan perbedaan pendirian dan keyakinan setiap petani akan menyebabkan konflik antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihakpun berusaha membinasakan lawannya. Konflik tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya.
Disamping perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan maupun perbedaan status sosial dapat menimbulkan konflik, sehingga memiliki kesenjangan yang relatif besar. Hal tersebut juga dapat memicu konflik apabila tidak dilakukan komunikasi dengan baik yang tidak hanya menimbulkan konflik antar individu, tetapi juga antar kelompok tani.
Kesenjangan tersebut sebagai pemicu terjadinya konflik komunikasi sehingga upaya penyebarluasan teknologi pertanian mengalami hambatan-hambatan secara sosial, karena tidak tercapainya kesamaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Untuk melakukan persamaan persepsi perlu pengembangan wawasan dengan bobot teori pendukung sebagai upaya saling pengertian dan pemahaman.
Dalam teori konflik dinyatakan bahwa pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dalam kelompok tani yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik itu akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik antar kelompok tani.
Kepentingan yang berbeda-bedapun memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan untuk kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, maka kelompok tani-kelompok tani akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana. Kepentingan agen penyuluhan pertanian, para sumber teknologi (peneliti) dan kepentingan petani kadang-kadang berbeda dalam hal persepsi terhadap sebuah program.
Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dan, perubahan-perubahan sosial ini secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya konflik-konflik sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial yang cepat inilah yang akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai di dalam masyarakat, dan pada akhirnya akan menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian di dalam masyarakat.
Jadi, konflik dalam pembangunan pertanian pedesaan sebagai upaya menanggulangi keterbelakangan dan kemiskinan petani adalah sebuah proses yang sifatnya disosiatif. Namun, sekalipun sering berlangsung dengan dengan keras dan tajam, proses-proses konflik sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Positif tidaknya konflik tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik.
Akibat positif dari konflik adalah bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok tani. Apabila terjadi pertentangan antar kelompok tani, solidaritas anggota-anggota di dalam masing-masing kelompok tani, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak luar. Akibat negatif dari terjadinya konflik yaitu terjadinya peperangan yang akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta.
Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompok taninya.
Konflik akan berakhir dengan berbagai kemungkinan. Apabila kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik adalah berimbang maka kemungkinan besar akan terjadi usaha akomodasi oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, apabila kekuatan yang tengah berkonflik tidak berimbang maka akan terjadi penguasaan (dominasi) oleh salah satu pihak yang kuat terhadap lawannya.
Disamping itu, konflik dapat juga dianggap sebagai salah satu fenomena perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan prilaku menyimpang ini adalah prilaku dari masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana, orang dapat dikatakan menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat bahwa prilaku atau tindakannya diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib social. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok taninya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok tani-kelompok tani elite, maka kelompok tani-kelompok tani itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, maka perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok tani-kelompok tani dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok tani-kelompok tani dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan (Quinney, 1979:115-160 dalam Clinard dan Meier, 1989:98-99).
Dalam struktur besar atau kecil, konflik dalam suatu kelompok tani dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Pada dasarnya, Coser tidak melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan antara majikan dan buruh, perawat dan dokter merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan sosial. Kelompok tani yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah kelompok tani yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Di dalam situasi demikian, konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat membantu memperkuat struktur. Coser sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari ”kekuatan dan stabilitas suatu hubungan”.
Apa yang disumbangkan Coser dalam bentuk karya tentang konflik dapat digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial. Diambil dari beberapa bahan bacaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.