Oleh : Anang Budi Prasetyo,SP
BPK Kecamatan Tiris
Seorang agen penyuluhan pertanian membutuhkan
pengetahuan dan wawasan tentang cara berkomunikasi yang baik dan benar untuk
dapat melaksanakan tugasnya. Selain itu pula perlu didukung oleh tingkat
pengetahuan dan wawasan yang cukup dalam segala hal, karena sebagian petani
tidak mempunyai pengetahuan dan wawasan yang memadai untuk dapat memahami
persoalan mereka, memikirkan solusinya, ataupun memilih solusi yang tepat untuk
mencapai tujuan mereka. Selanjutnya adalah menyediakan informasi dan metode
komunikasi yang efisIen dan efektif. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
menghindari terjadinya konflik antara agen penyuluhan pertanian dengan petani
sebagai sasaran penyuluhan pertanian.
Konflik sebagai suatu proses ternyata dipraktekkan
secara luas dalam masyarakat. Demikian juga halnya dengan komunikasi dalam
bidang pertanian berpotensi menimbulkan konflik sebagai suatu proses social
yang berlangsung dan melibatkan orang-orang atau kelompok tani-kelompok tani,
yang tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi
juga bertujuan sampai ke taraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok tani
lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.
Konflik komunikasi dalam bidang pertanian adalah
terjadinya suatu keadaan, dimana komponen-komponen masyarakat tidak berfungsi
sebagaimana mestinya atau terintegrasi secara tidak sempurna. Untuk itu
penanganan masalah konflik komunikasi dalam bidang pertanian dapat mengacu pada
teori konflik dengan penegasan sebagai kumpulan ide dalam memajukan
gerakan-gerakan sosial atau untuk mempertahankan institusi sosial. Ideologi
lebih merupakan sebuah sistem yang menjadi pedoman praktis.
Tiga bentuk ideologi pokok teori konflik yang muncul
pada abad ke-19 diantaranya adalah sosialisme Marxis dan dua jenis
sosial-Darwinisme. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam memahami
teori konflik untuk membedakan ideologi dengan teori sains. Satu hal lagi dalam
ideologi pokok teori konflik pada abad ke-19 menjadi ranah yang luar biasa dan
masalah-masalah vital karena akhirnya sains sosial dapat mengatasi kondisi ini.
Banyak faktor yang telah menyebabkan terjadinya
konflik komunikasi dalam bidang pertanian. Misalkan perbedaan pendirian dan
keyakinan setiap petani akan menyebabkan konflik antar individu. Dalam
konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan
masing-masing pihakpun berusaha membinasakan lawannya. Konflik tidak selalu
diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk
pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak
disetujuinya.
Disamping perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan
maupun perbedaan status sosial dapat menimbulkan konflik, sehingga memiliki
kesenjangan yang relatif besar. Hal tersebut juga dapat memicu konflik apabila
tidak dilakukan komunikasi dengan baik yang tidak hanya menimbulkan konflik
antar individu, tetapi juga antar kelompok tani.
Kesenjangan tersebut sebagai pemicu terjadinya konflik
komunikasi sehingga upaya penyebarluasan teknologi pertanian mengalami
hambatan-hambatan secara sosial, karena tidak tercapainya kesamaan persepsi
antara komunikator dengan komunikan. Untuk melakukan persamaan persepsi perlu
pengembangan wawasan dengan bobot teori pendukung sebagai upaya saling
pengertian dan pemahaman.
Dalam teori konflik dinyatakan bahwa pola kebudayaan
yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang
berbeda pula dalam kelompok tani yang luas, sehingga apabila terjadi
konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik itu akan bersifat luas dan
karenanya akan bersifat konflik antar kelompok tani.
Kepentingan yang berbeda-bedapun memudahkan terjadinya
konflik. Mengejar tujuan untuk kepentingan masing-masing yang berbeda-beda,
maka kelompok tani-kelompok tani akan bersaing dan berkonflik untuk
memperebutkan kesempatan dan sarana. Kepentingan agen penyuluhan pertanian,
para sumber teknologi (peneliti) dan kepentingan petani kadang-kadang berbeda
dalam hal persepsi terhadap sebuah program.
Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan
sebagainya sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dan, perubahan-perubahan
sosial ini secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya
konflik-konflik sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial yang cepat
inilah yang akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai di dalam masyarakat, dan
pada akhirnya akan menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian di dalam
masyarakat.
Jadi, konflik dalam pembangunan pertanian pedesaan
sebagai upaya menanggulangi keterbelakangan dan kemiskinan petani adalah sebuah
proses yang sifatnya disosiatif. Namun, sekalipun sering berlangsung dengan
dengan keras dan tajam, proses-proses konflik sering pula mempunyai
akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Positif tidaknya konflik tergantung
dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang
menjadi ajang berlangsungnya konflik.
Akibat positif dari konflik adalah bertambahnya
solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok tani. Apabila terjadi
pertentangan antar kelompok tani, solidaritas anggota-anggota di dalam
masing-masing kelompok tani, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan
langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak luar. Akibat
negatif dari terjadinya konflik yaitu terjadinya peperangan yang akan
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta.
Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan
terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi
pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu
akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara
penuh dengan kelompok taninya.
Konflik akan berakhir dengan berbagai kemungkinan.
Apabila kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik adalah berimbang maka
kemungkinan besar akan terjadi usaha akomodasi oleh kedua belah pihak. Akan
tetapi, apabila kekuatan yang tengah berkonflik tidak berimbang maka akan
terjadi penguasaan (dominasi) oleh salah satu pihak yang kuat terhadap
lawannya.
Disamping itu, konflik dapat juga dianggap sebagai
salah satu fenomena perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang dimaksud dengan prilaku menyimpang ini adalah prilaku dari masyarakat yang
dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang
berlaku. Secara sederhana, orang dapat dikatakan menyimpang apabila menurut anggapan
sebagian besar masyarakat bahwa prilaku atau tindakannya diluar kebiasaan, adat
istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku di
masyarakat.
Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok
tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai
perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami
sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku
menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua
perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan
tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang
tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk
menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang
berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada
asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib social. Teori ini tidak
bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau
latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih
menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi
kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok taninya. Karena kekuasaan
yang dimiliki oleh kelompok tani-kelompok tani elite, maka kelompok
tani-kelompok tani itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan,
khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka. Dalam
hubungannya dengan hal ini, maka perspektif konflik memahami masyarakat sebagai
kelompok tani-kelompok tani dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan
cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok
tani-kelompok tani dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan
aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan (Quinney,
1979:115-160 dalam Clinard dan Meier, 1989:98-99).
Dalam struktur besar atau kecil, konflik dalam suatu
kelompok tani dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Pada
dasarnya, Coser tidak melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja.
Perbedaan antara majikan dan buruh, perawat dan dokter merupakan peristiwa
normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan
sosial. Kelompok tani yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah kelompok
tani yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang
akan menghancurkan struktur sosial. Di dalam situasi demikian, konflik biasanya
tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat membantu
memperkuat struktur. Coser sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya
konflik dapat dipakai sebagai indikator dari ”kekuatan dan stabilitas suatu
hubungan”.
Apa yang disumbangkan Coser dalam bentuk karya tentang
konflik dapat digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict
functionalism). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa konflik dan konsensus,
integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan
campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial. Diambil
dari beberapa bahan bacaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.