Penggolongan Pestisida
Oleh : Anang Budi Prasetyo,SP
PPL BPP Kecamatan Tiris
PENDAHULUAN
Kata insektisida secara harfiah berarti pembunuh
serangga, yang berasal dari kata Insekta = serangga dan kata latin cida=
pembunuh. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest = hama dan
cida = pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida, sedangkan
kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida, akarisida, fungisida,
herbisida dan lain-lain. Dalam penggunaannya di bidang pengendalian hama bila
digunakan istilah pestisida sering yang dimaksud adalah insektisida. Meskipun
ada alat-alat yang dapat kita gunakan untuk membunuh serangga seperti alat
pemukul namun alat tersebut tidak kita namakan pestisida karena yang diartikan
pestisida disini adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh hama.
Cara pemberian nama untuk suatu jenis pestisida
ada ketentuannya yang perlu kita ikuti. Pestisida ditandai oleh 3 nama penamaan
yaitu NAMA UMUM, NAMA DAGANG dan NAMA KIMIAWI. Nama Umum pestisida mula-mula
diusulkan oleh organisasi profesi seperti Entomological Societyof America dan
kemudian disetujui oleh Lembaga Internasional seperti The American National
Standard Institute atau The International Organization for Standarization.
Sedangkan Nama Dagang ditetapkan oleh produsen atau formulator pestisida yang
membuat dan memperdagangkan pestisida tersebut. Karena satu jenis pestisida
dapat dibuat oleh beberapa perusahaan didapatkan beberapa nama dagang. Nama
Kimia merupakan nama yang digunakan oleh ahli kimia dalam menjelaskan suatu
senyawa kimia sesuai dengan rumus bangun senyawa pestisida tersebut.
Contoh :
Nama Umum : Karbofuran
Nama Dagang : Furadan, Curraterr, Indofur,
Dharmafur dan lain-lain
Nama Kimia : 2,3 –dihidro 2,2,-dimetil-7-benzoil
metilkarbamat
PENGGOLONGAN
PESTISIDA
MENURUT CARA MASUK KE TUBUH HAMA
Penggolongan pestisida menurut cara masuknya ke
tubuh hama dapat terbagi menjadi
A. RACUN PERUT
Pestisida memasuki tubuh hama
melalui saluran pencernaan (perut). Hama terbunuh bila pestisida tersebut
termakan oleh hama. Pestisida lama umumnya merupakan racun perut, sedangkan
pestisida modern sangat sedikit yang merupakan racun perut. Namun ada juga
pestisida modern yang aksinya pada serangga melalui perut yaitu kelompok
Insektisida Sistemik. Insektisida ini diserap oleh tanaman dan ditranslokasikan
dalam jaringan tanaman. Serangga yang menghisap cairan tanaman yang sudah
mengandung insektisida akan mati. Oleh karena insektisida sistemik juga
memiliki sifat racun perut maka dapat dimasukkan dalam kelompok racun perut.
Biasanya insektisida sistemik tidak dimasukkan dalam racun perut.
B. RACUN KONTAK
Pestisida memasuki tubuh
serangga bila serangga mengadakan kontak dengan insektisida atau serangga
berjalan diatas permukaan yang telah disemprot pestisida. Disini pestisida
masuk ke dalam tubuh serangga melalui dinding tubuh. Insektisida modern pada
umumnya merupakan racun kontak.
C. FUMIGAN
Fumigan merupakan insektisida
yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem
pernafasan atau sistem trakea yang kemudian diedarkan ke seluruh jaringan
tubuh. Karena sifatnya yang mudah menguap fumigan biasanya digunakan untuk
mengendalikan hama gudang/simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup
dan juga untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah.
MENURUT SIFAT KIMIANYA
Insektisida dapat kita bagi
menurut sifat dasar senyawa kimianya yaitu dalam Insektisida Anorganik yang
tidak mengandung unsur karbon dan Insektisida Organik yang mengandung unsur
karbon. Insektisida lama yang digunakan sebelum tahu 1945 umumnya merupakan insektisida
anorganik sedangkan insektisida modern setelah DDT ditemukan umumnya merupakan
insektisida organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida
organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami
merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik) dan bahan
alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik
dengan melalui proses sintesis kimiawi. Insektisida modern pada umumnya
merupakan insektisida organik sintetik.
Pembagian menurut sifat kimia
yang lebih tepat adalah menurut komposisi atau susunan senyawa kimianya.
Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif
(senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar yaitu
Organoklorin (OC), Organophosphat (OP), Karbamat, dan Pirethroid Sintetik (SP).
Kecuali 4 kelompok besar tersebut masih ada beberapa kelompok insektisida yang
kurang banyak digunakan dalam praktek pengendalian hama.
1. ORGANOKLORIN
Organoklorin atau sering
disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok insektisida sintetik yang pertama
dan paling tua dan dimulai dengan ditemukannya DDT oleh Paul Mueller (Swiss)
pada tahun 1940-an. DDT dalam sejarah kemanusiaan menjadi insektisida yang
paling kontroversial karena di satu pihak merupakan insektisida sintetik
pertama yang diproduksi besar-besaran dan jasanya sangat besar bagi
kemanusiaan. PM Churchill pernah menyebut DDT sebagai “Serbuk Ajaib”. Di sisi
lain karena dampaknya yang membahayakan kepada lingkungan hidup, Rachel Carson
pada tahun 1962 menyebut DDT sebagai “Minuman Kematian”.
Setelah DDT, kemudian berhasil
dikembangkan banyak jenis insektisida yang mirip dengan DDT dan kemudian
dikelompokkan dalam golongan Hidrokarbon Klor. Semua insektisida dalam kelompok
ini mengandung Klorin, Hidrogen dan Karbon. Kadang-kadang ada juga yang
mengandung Oksigen dan Sulfur.
Insektisida OC merupakan racun
kontak dan racun perut, efektif untuk mengendalikan larva, nimfa dan imago dan
kadang-kadang untuk pupa dan telur. Cara kerja (Mode of Action) OC belum
diketahui secara lengkap. Secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan serangga
oleh insektisida tersebut ditandai dengan terjadinya gangguan pada sistem
syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas, gemetaran,
kejang-kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta kematian.
Insektisida golongan OC pada
umumnya memiliki toksisitas ‘sedang” untuk mamalia. Masalah yang paling
merugikan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya
yang sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di dalam jaringan tanaman
dan dalam tubuh hewan. Misalnya DDT di daerah Subtropis dalam kurun waktu 17
tahun residunya masih 39% di dalam tanah, sedangkan residu Endrin setelah 14
tahun masih dijumpai 40%. Persistensi OC di lingkungan menimbulkan dampak
negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan kronik yang
membahayakan kesehatan masyarakat. Masalah lain yang timbul adalah
berkembangnya sifat resistensi serangga hama sasaran seperti nyamuk dan lalat
terhadap DDT.
Oleh karena bahayanya
Insektisida golongan Organoklorin sejak tahun 1973 dilarang penggunaannya untuk
hama pertanian di Indonesia kecuali Endosulfan dan Dieldrin yang diijinkan
secara terbatas untuk pengendalian rayap, namun sayangnya penggunaan DDT untuk
sektor kesehatan masih dianjurkan secara terbatas sampai akhir tahun 1991.
Kelompok Organoklorin masih
dapat dibagi menjadi 3 subkelompok yaitu, pertama DDT dan senyawa dekatnya
seperti Metoksiklor, Dikofol, BHC, atau HCH; kedua adalah Siklodien yang
terdiri dari Aldrin, Endrin, Dieldrin, Klordan, Heptaklor dan Endosulfan.
Ketiga, adalah terpene Klor seperti Toksafena.
2. ORGANOPHOSPHAT (OP)
Insektisida OP dengan unsur P
sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar
dan sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200
ribu senyawa OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga.
OP merupakan insektisida yang
sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun
perut maupun fumigan. Berbeda dengan OC, senyawa OP di lingkungan kurang stabil
sehingga lebih cepat terdegredasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun.
Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dh cepat, persistensinya di
lingkungan sedang sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan insektisida
OC. Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok insektisida yang paling banyak
digunakan di seluruh dunia.
Kebanyakan insektisida OP
adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase. Kita ketahui bahwa
dalam sistem syaraf serangga antara sel syaraf atau neuron dengan sel-sel lain
termasuk sel otot terdapat “celah” yang disebut Sinapse. Enzim Asetilkolin yang
dibentuk oleh sistem syaraf pusat berfungsi untuk mengantarkan pesan atau
impuls dari sel syaraf ke sel otot melalui sinapse. Setelah impuls diantarkan
ke sel-sel otot proses penghantaran impuls tersebut dihentikan oleh karena
bekerjanya enzim lain yaitu enzim asetilkolinestarase. Dengan enzim tersebut
asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kolin. Adanya asetilcolin-esterase
menyebabkan sinapse menjadi kosong lagi sehingga pengantaran impuls berikutnya
dapat dilakukan.
Insektisida OP menghambat
bekerjanya enzim asetilkolinesterase yang berakibat terjadi penumpukan
asetilkolin dan terjadilah kekacauan pada sistem penghantaran inpuls ke sel-sel
otot. Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat diteruskan,
otot kejang dan akhirnya terjadi kelumpuhan (paralisis) dan kematian.
OP memiliki berbagai bentuk
alkohol yang melekat pada atom-atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik.
Ester-ester ini mempunyai kombinasi oksigen, karbon, sulfur dan Nitrogen. OP
yang dikembangkan dari kombinasi ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat
yaitu : Alifatik, Fenil, dan Heterosiklik.
Derivat Alifatik strukturnya
ditandai oleh senyawa dengan rantai karbon yang lurus dan tidak berbentuk
cincin. Derivat Alifatik meliputi insektisida-insektisida antara lain TEPP,
Malathion, Dimetoat, Dikrotofos, Mitamidofos, Asefat, dan lain-lain.
Derivat Fenil terlihat dari
adanya cincin-cincin fenil dimana salah satu H ditempati oleh “moiety” P
sedangkan lainnya (satu atau lebih) diganti oleh CH3, Cl, CN, NO2 atau S.
Stabilitas derivat ini lebih besar daripada derivat Alifatik sehingga residunya
dapat lebih lama di lingkungan. Insektisida OP yang termasuk derivat fenil
adalah Metil Parathion, Paration, Fention, Fonofos, dan lain-lain.
Derivat Heterosiklik seperti
fenil mereka memiliki bangunan rantai tetapi perbedaannya satu atau beberapa
atom C ditempati oleh O, N atau S. Juga bangunan rantai dari kelompok ini
mempunyai 3,5 atau 6 atom. Senyawa-senyawa kelompok ini paling stabil dan lama
bertahan di lingkungan. Yang termasuk derivat ini antara lain Klorpirifos,
Fention, Temephos, metidation dan lain-lain.
3. CARBAMAT
Karbamat merupakan insektisida
yang berspektrum lebar dan telah banyak digunakan secara luas untuk
pengendalian hama. Golongan ini relatif baru jika dibandingkan 2 kelompok
pestisida sebelumnya (OC dan OP). Semua insektisida Karbamat mempunyai bangunan
dasar asam karbamat. Cara karbamat mematikan serangga sama dengan golongan OP
yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada sistem syaraf.
Perbedaannya bahwa pada karbamat penghambatan enzim kolinesterase-nya bersifat
bolak-balik (resersible) sedangkan pada OP tidak bolak balik. Insektisida
tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari tubuh binatang sehingga
tidak terakumulasi dalam jaringan lemak atau susu seperti OC. Beberapa karbamat
memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun.
Contoh insektisida golongan
karbamat adalah Aldikarb, Metiokarb, Metomil, Propoxur, dan lain-lain.
4. PIRETROID SINTETIK (SP)
Piretroid merupakan kelompok
insektisida organik sintetik konvensional yang paling baru, digunakan secara
luas sejak tahun 1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat. Keunggulan
SP karena memiliki pengaruh “knock down” atau mematikan serangga dengan cepat.
Tingkat toksisitas rendah bagi manusia.
Kelompok SP merupakan tiruan
dari bahan aktif insektisida botani Piretrum yaitu Sinerin I yang berasal dari
bunga Chrysanthenum cinerariaefolium. Sebagai insektisida botani piretrum
memiliki keunggulan yaitu daya knockdown yang tinggi tetapi sayangnya di
lingkungan bahan alami ini tidak bertahan lama karena mudah terurai oleh sinar
ultraviolet. Kecuali itu penggunaan di lapangan kurang praktis dan mahal karena
piretrum harus dahulu diekstrasi dari bunga chrisantenum. Dari rangkaian
penelitian kimiawi dengan melakukan sintesis terhadap susunan kimia piretrum dapat
diperoleh bahan kimiawi yang memiliki sifat insektisidal mirip dengan piretrum
dan bahan tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan lebih lama di lingkungan
serta dapat diproduksi di pabrik. Jenis pestisida buatan yang mirip piretrum
diberi nama pirethrin yang kemudian menjadi modal dasar bagi pengembangan
insektisida golongan SP lainnya.
Insektisida SP seringkali
dikelompokkan menurut generasi perkembangannya di laboratorium. Biasanya,
generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat SP generasi sebelumnya. Sasaran
perkembangan SP kecuali sifat-sifat yang disebutkan diatas juga mencari dosis
aplikasi yang sekecil mungkin dengan kemampuan mematikan serangga hama setinggi
mungkin sehingga diperoleh efisiensi ekonomis yang tinggi. Sampai saat ini
sudah dikenal 4 generasi SP. Salah satu anggota generasi pertama adalah
Allethrin. Generasi kedua adalah Resmethrin. Generasi ketiga adalah Fenvalerate
dan Permethrin. Generasi keempat adalah cypermethrin, fluvalinat dan
Deltamethrin dan lain-lain.
Meskipun daya mematikan SP
sangat tinggi dan sangat sedikit menghadapi permasalahan lingkungan, namun
pestisida ini menghadapi masalah utama yaitu percepatan perkembangan strain
hama baru yang tahan terhadap insektisida SP.
5. FUMIGAN
Fumigan sangat mudah menguap,
kebanyakan mengandung satu atau lebih gas halogen yaitu Cl, Br dan F. Banyak
yang sangat beracun bagi serangga hama sehingga dapat membunuh serangga di
ruang tertutup. Oleh karena itu fumigan banyak digunakan untuk mengendalikan
hama simpanan/gudang, hama rumah kaca, dan rayap. Beberapa fumigan juga
digunakan untuk perlakuan tanah.
Beberapa contoh fumigan antara
lain : CH3Br, Kloropikrin, Naftalena, dan lain-lain.
6. MINYAK
Minyak tanah sejak abad ke 18
telah digunakan untuk mengendalikan serangga yang merugikan manusia antara lain
untuk nyamuk dan hama buah-buahan. Masalah utama yang dihadapi dalam penggunaan
minyak tanah adalah fitotoksisitasnya yang tinggi. Oleh karena itu sebelum
digunakan minyak tanah harus disuling lebih dahulu dengan tehnik tertentu.
Minyak tanah yang telah disuling efektif untuk pengendalian tungau, aphid dan
kutu-kutu tanaman.
7. INSEKTISIDA LAIN
Masih banyak kelompok
insektisida lain di luar yang telah disebutkan sebelumnya seperti Formamidin,
Tiosianat, Organotin dan lain-lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah
pestisida Anorganik yang sudah lama tidak digunakan lagi setelah adanya
insektisida organik sintetik. Termasuk dalam Anorganik adalah Kalium Arsenat,
Pb Arsenat, Kriolid dan Belerang. Umumnya pestisida tersebut adalah racun perut.
Kelemahan pestisida anorganik adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk
manusia, residu di lingkungan persisten, ftotoksisitas tinggi, masalah
ketahanan hama terhadap insektisida dan efisikasinya lebih rendah bila
dibandingkan insektisida organik sintetik.
FORMULASI PESTISIDA
Bahan aktif insektisida
merupakan bahan penyusun terpenting, suatu formulasi pestisida untuk dipasarkan
tidak diproduksikan oleh pabrik dalam bentuk murni. Bahan aktif murni hanya
dibuat khusus untuk keperluan penelitian atau pengawasan mutu formulasi
insektisida. Pada tingkat permulaan produksi insektisida lebih dahulu dibuat
apa yang disebut bahan aktif teknis. Bahan ini merupakan campuran bahan aktif
murni dan bahan antara lainnya. Agar bahan aktif teknis tersebut dapat lebih efektif
dan efisien dalam mengendalikan hama sasaran yang tempat hidup dan cara
hidupnya bervariasi sebelum dipasarkan, bahan teknis tersebut lebih dahulu
dicampur dengan bahan penguat (sinergis) dan bahan pembantu (ajuvan).
Bahan-bahan tambahan yang tidak bersifat insektisidal tersebut secara umum
sering disebut inert ingredient. Pemberian bahan-bahan pembantu dapat
meningkatkan adhesi atau pelekatan, pencampuran, tekanan permukaan, persistensi
di lingkungan dan sebagai pembawa insektisida.
Sinergis merupakan bahan yang
tidak beracun bagi serangga namun bila bahan tersebut dicampurkan dapat
menambah toksisitas insektisida. Biasanya campuran tersebut berbanding 10:1
atau 8:1 antara sinergis dan insektisida. Beberapa sinergis adalah piperonil
butoksid dan MGK 264.
Bahan pembantu atau Ajuvan ada
bermacam-macam diberikan antara lain : a) Solvent untuk meningkatkan daya
larut; b) Diluent sebagai bahan pembawa dan daya “penyelimutan”; c) Stiker
untuk meningkatkan daya lekat; d) Surfactant untuk meningkatkan daya sebar dan
pembasahan permukaan, dan; e) Deodoran untuk memberikan bau harum.
Campuran bahan aktif teknis,
sinergis dan bahan pembantu disebut formulasi pestisida. Ada produsen pestisida
yang menghasilkan bahan aktif teknis insektisida tertentu, tetapi ada banyak
produsen pestisida yang membeli bahan aktif teknis dari suatu perusahaan dan
menambah dengan bahan-bahan pembantu tertentu yang kemudian dipasarkan sebagai
formulasi pestisida dengan nama dagang tertentu. Oleh karena itu untuk satu
jenis bahan aktif di pasar terdapat banyak formulasi dengan nama dagang yang
berbeda. Perbedaan antara beberapa formulasi untuk jenis bahan aktif yang sama
dapat disebabkan pada perbedaa dalam susunan bahan tambahan dan bahan pembantu
dan juga pada susunan bahan pembentuk bahan aktif teknis. Secara umum ada
banyak sekali jenis formulasi pestisida telah dikembangkan untuk kepentingan
pemakai dan telah tersedia di pasar.
a) Emulsifiable Concentrate (EC
EC merupakan formulasi
insektisida yang paling umum dan banyak diproduksi. Formulasi ini terdiri dari
aktif teknis, cairan pelarut untuk bahan aktif dan perantara emulsi
(“Emulsifier”). Suatu emulsi minyak-dalam air- terbentuk bila formulasi ini
dicampur dengan air sehingga terbentuk cairan seperti susu. Emulsifier
memungkinkan melarutkan bahan kimia yang sukar larut dalam air. Juga bahan ini
mengurangi tekanan permukaan dari semprotan sehingga dapat lebih menyebar dan
membasahi permukaan yang disemprot. Zat ini pula yang memungkinkan kontak yang
lebih baik dengan kutikula serangga.
b) Wettable Powders (WP)
WP atau tepung basah merupakan
formulasi yang umum digunakan setelah EC. WP merupakan formulasi pestisida
kering yang agak pekat yang ditujukan agar dapat larut dan diencerkan dalam air
untuk disemprotkan. Suatu partikel suspensi terbentuk apabila dicampurkan
dengan air. Hal ini dapat diperoleh dengan menambahkan surfaktan sebagai bahan
penyebar dan pembasah. Dibandingkan dengan EC, WP mempunyai toksisitas pada
tanaman yang lebih rendah, tetapi sayangnya WP kurang baik untuk alat penyemprot
sehingga alat menjadi kurang awet, sering macet pada nozzle sehingga sewaktu
disemprotkan harus sering dilakukan pengadukan.
c) Flowable Powder
Pada beberapa keadaan senyawa
insektisida hanya dapat dibuat dalam bentuk padat atau semi padat. Untuk
menambahkan keuntungan sifat pencampuran formulasi EC dan larutan senyawa yang
padat tersebut kemudian digiling secara basah dengan diluen lempung dan air,
sehingga diperoleh bahan teknis yang tergiling halus dan basah sehingga
bentuknya seperti puding. Formulasi ini kemudian dapat dicampur dengan air
sehingga dapat disemprotkan. Karena keadaannya yang demikian formulasi F dalam
penggunaannya harus selalu diaduk agar insektisida tidak keluar dari suspensi
dan mengendap pada dasar tangki penyemprot.
d) Soluble Powder
Berbeda dengan formulasi WP, SP
dapat larut dalam air membentuk suatu larutan yang sesungguhnya. Formulasi ini
berupa bubuk kering yang dapat larut dan mengandung 75-95% bahan aktif. Bahan
inert berupa adjuvant untuk menyebarkan dan melekatkan insektisida pada
permukaan tanaman. Pengadukan mula-mula diperlukan tetapi setelah terjadi
larutan pengadukan tidak diperlukan lagi. Relatif hanya sedikit macam
insektisida yang dapat diformulasikan dengan cara ini.
e) Solution
Formulasi S atau larutan dibuat
dengan melarutkan insektisida pada zat pelarut organik untuk dapat digunakan
secara langsung bagi pengendalian hama. Formulasi ini jarang digunakan pada
tanaman karena dapat menyebabkan fitotoksisitas yang gawat. Penggunaannya
sering untuk pengendalian serangga-serangga yang menyerang ternak dan
pengendalian jentik-jentik nyamuk yang ada pada permukaan air. Suatu jenis
khusus suatu formulasi larutan yang berkonsentrasi tinggi yang saat ini sering
digunakan pada daerah-daerah yang sering kesulitan air adalah formulasi ULV
(Ultra Low Volume). Formulasi ULV disemprotkan langsung tanpa memerlukan air
tetapi memerlukan alat penyemprot khusus seperti “mikron air” yang dapat
menghasilkan butiran semprot yang sangat lembut. Apabila kondisi cuaca
memungkinkan (kecepatan angin rendah) dan cara penyemprotannya benar, maka
penyemprotan dengan ULV sangat ekonomis karena selain menghemat air juga jumlah
insektisida yang digunakan lebih sedikit bila dibandingkan dengan formulasi EC.
Formulasi ULV di Indonesia telah lama digunakan di program IKR (Intensifikasi
Kapas Rakyat) dengan alasan umumnya daerah pertanaman kapas merupakan daerah
yang kering.
f) Dust (D)
Formulasi dust atau debu
merupakan formulasi insektisida yang paling tua dan sederhana. Formulasi
tersebut diperoleh dengan menggiling toksikan atau insektisida menjadi serbuk
yang halus kemudian dicampur dengan bahan organik seperti tepung tempurung
tanaman wallnut, bubukan mineral profilit, bentonik dan talk. Persentase bahan
aktif insektisida biasanya berkisar antara 1-10%. Formulasi dust mungkin
aplikasinya yang paling mudah, cukup dengan alat “duster” yang sederhana hingga
insektisida dapat dikenakan pada tanaman. Tetapi formulasi ini merupakan
formulasi yang paling tidak efektif dan tidak ekonomis terutama bila digunakan
di luar karena banyak yang terhembus oleh angin (“drift”) sehingga sangat
sedikit yang mengenai sasaran. Kelemahan yang lain bahwa formulasi ini
berbahaya bagi lebah madu dan imago parasitoid yang termasuk hymenoptera
sehingga prospek penggunaannya untuk PHT kurang baik.
g) Granules (G)
Formulasi granule atau butiran
ini dibuat dengan memberikan insektisida cair pada partikel-partikel kasar dari
bahan yang mudah menyerap. Partikel-partikel ini dapat dibentuk dari tongkol
jagung, tempurung tanaman wallnut, lempung atau bahan lainnya. Insektisida
diserap kedalam butiran dan kemudian di sebelah luar ditutup oleh suatu
lapisan. Kandungan bahan aktif antara 2% sampai 40%. Karena ukuran butiran
lebih besar daripada dust maka formulasi G lebih aman bagi pemakai dibanding
formulasi D atau EC karena mengurangi kemungkinan dihirup. Penggunaannya di
lapangan adalah dengan menyebarkan di sekitar tanaman atau membenamkan ke dalam
tanah di sekitar pangkal tanaman. Oleh karena itu formulasi G paling banyak
digunakan untuk mengendalikan hama-hama di tanah atau untuk aplikasi
insektisida sistemik seperti Karbofuran 3G untuk pengendalian hama penggerek
batang padi.
h) Aerosol
Aerosol merupakan formulasi
yang paling sering digunakan untuk insektisida yang digunakan dalam rumah
tangga, di pekarangan, atau di dalam rumah kaca. Dalam pembuatan formulasi ini
insektisida lebih dahulu dilarutkan dalam zat pelarut berupa minyak yang
menguap. Larutan ini kemudian diberi tekanan udara dalam kaleng dengan gas
propelan seperti karbondioksida atau fluorokarbon. Apabila disemprotkan larutan
akan menjadi partikel-partikel yang sangat kecil dan secara cepat menguap
meninggalkan droplet-droplet mikroskopik di udara. Meskipun penggunaannya
praktis namun karena aerosol hanya memiliki prosentase bahan aktif insektisida
yang sangat rendah, harganya relatif sangat mahal.
i) Poisonous Baits (B)
Formulasi B atau umpan beracun
menggabungkan bahan yang dapat dimakan hama atau yang menarik hama dengan
insektisida agar meningkatkan efektivitas perlakuan. Jenis umpan sangat
bervariasi tergantung pada renspos hama terhadap umpan.
j) Slow Release Formulations (SR)
Dalam pemakaian berbagai
formulasi insektisida umumnya efektivitasnya berjangka pendek sehingga agar
diperoleh hasil pengendalian yang optimal perlu diadakan perlakuan insektisida
beberapa kali dalam satu musim tanam yang dapat meningkatkan biaya
pengendalian. Muncullah keinginan untuk memperoleh formulasi yang memungkinkan
pengaruh insektisida dapat diperpanjang dan tidak sering diadakan pengulangan
perlakuan agar dapat lebih menghemat biaya. Saat ini telah dapat diproduksikan
berbagai bentuk formulasi SR seperti “Kepingan Lalat” atau Fly Strip, Kerah
Kutu Anjing, atau Flea Collars. Bentuk SR lain adalah mikroencapsulasi
insektisida. Contohnya mikroencapsulasi methyl paration. Disini insektisida
diselimuti oleh kapsul yang mempunyai lubang-lubang mikroskopis sehingga
insektisida keluar dari kapsul secara berlahan-lahan. Dengan menggunakan
formulasi tersebut diharapkan petani dapat mengurangi jumlah aplikasi, tidak
harus tepat dalam menetapkan waktu pengendalian, dan mengurangi bahaya bagi
pekerja. Tetapi jenis formulasi ini sebaliknya akan memperpanjang acanaman dan
bahaya bagi serangga yang bermanfaat seperti lebah madu dan imago parasitoid dan
predator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon konfermasi balik....dari anda terhormat. Biar tampilan lebih baik.